Saturday, December 29, 2007

Siang di Penghujung Desember

Kutemukan senyummu di etalase sebuah mall
Di samping kerlip pohon natal, di antara lalu lalang orang
Kupunguti kisahmu di sepanjang jembatan penyeberangan
Mungkin mimpi kita sama, katamu setelah jeda gerimis yang sendu
Kita lihat saja, jawabku mengumpulkan serpih-serpih rasa

Lalu kita menyusuri takdir
Orang-orang di restoran tertawa
Ikan gurame di depan kita bernyanyi
Ayam goreng mengedipkan mata
Aku ingin mengakhiri pelayaran, katamu
Maka menepilah, ada pelabuhan di sana, kataku

Kau memalingkan wajah kepadaku
Matamu berpijar seperti matahari siang di penghujung Desember
Menghalau mendung yang menggantung di atas kepalaku

Bisakah kau biarkan pijar itu tetap di sana?
Karena aku ingin selalu menatapnya
Hari ini dan selanjutnya

Monday, December 10, 2007

Kembali ke Alam


foto by Tary

Hampir petang ketika aku menyusuri tanjakan jalan setapak. Hamparan kebun teh seperti permadani gelap yang muram. Langit mendung, gerimis mulai turun. Aku mempercepat langkah, tetapi ransel di punggungku memberati. Beberapa lama tidak meluangkan waktu untuk traveling, aku merasa menemukan diriku kembali di sini.
Seorang sahabat lama menyambut begitu aku menurunkan ransel di teras rumahnya.
"Hai! Apa kabar? Sendiri saja? Wah, kamu masih kurus juga seperti sepuluh tahun lalu," katanya memelukku erat. Aku tersenyum, memandang wajahnya yang sedikit tembem dan sorot matanya yang tajam. Dulu semasa kuliah di Yogya kami bersahabat dekat. Dan ia belum berubah, hanya bertambah dewasa. Malam itu aku istirahat di rumahnya.

Esoknya, aku meguntit sahabatku ke tempat kerja. Sebuah perkebunan bunga luas, entah berapa hektar. Mataku seperti dimanjakan dengan berbagai jenis bunga dan tumbuhan yang manis-manis. Subhanallah...betapa kecilnya aku di hadapan-Mu ya Rabb...

Seorang teman kerjanya berbaik hati mengantarku keliling hingga ke kampung-kampung di kaki gunung. Aku tak begitu memerhatikan teman baru ini bicara (maaf ya, hihi), tapi terpana-pana oleh keelokan alam yang memukau. Subhanallah...subhanallah...subhanallah...

Melihat alam yang indah, bertemu orang-orang baru dan berteman dengan mereka adalah sesuatu yang menakjubkan. Mungkin ini obat stress paling mujarab. Mungkin...

Tuesday, November 27, 2007

Kasih Ibu

Suatu sore di sebuah koridor rumah sakit.
Belum tiba jam kunjung ketika aku menghampiri ruang tunggu. Seorang kawan dirawat karena DBD dan aku menyempatkan diri untuk menengoknya. Duduk di bangku ruang tunggu aku langsung mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca tanpa memedulikan orang di sekelilingku. Ini kebiasaanku yang menurut teman-teman dekatku mengesalkan. Karena kalau sudah tenggelam dalam bacaan, aku akan lupa segalanya. Namun baru membuka halaman pertama terdengar tarikan nafas berat orang yang duduk di sampingku. Aku melirik sekilas. Seorang ibu paruh baya tampak gelisah, matanya sembab dan pipinya merah seperti kebanyakan menangis.

Aku menutup bukuku dan menoleh ke arah ibu paruh baya itu. Tiba-tiba dia mengangguk padaku sambil memaksakan senyumnya.

“Menjenguk kerabat, Bu?” tanyaku basa-basi.
Ibu itu mendesah. “Sedang mengurus administrasi putriku. Baru saja meninggal.”
“Oh, maafkan saya, Bu…”
“Tidak apa-apa, Mbak.”
Aku terdiam lama, bingung menghadapi orang yang tengah berduka. Hingga ibu itu bicara lagi aku masih terdiam.
“Putriku menderita kanker darah. Sangat kesakitan,” katanya sambil menyusut air mata.
Aku memilih kata-kata yang tepat. “Kata ustad saya, sakit itu juga sebagai penggugur dosa-dosa. Semoga sakit putri ibu akan menghapuskan seluruh dosa-dosanya. Ia kembali pada Allah dalam keadaan bersih dan mendapat tempat yang baik di sisi-Nya.”
“Amin. Terima kasih, Mbak…” Ibu itu tersenyum.

Aku menghela nafas berat seraya membuat pandang ke arah bougenvil ungu di pelataran rumah sakit. Berapa banyak kerabat yang ditinggal pergi orang yang dicintainya hari ini? Lima? Sepuluh? Dua puluh? Suatu ketika nanti, aku juga akan meninggalkan atau ditinggalkan. Bukankah itu sunatullah kehidupan? Datang dan pergi sesuai waktunya. Tetapi seperti apa kondisiku pada saatnya nanti? Apakah aku akan setegar ibu itu?

“Hartaku habis, putriku juga meninggal, Mbak,” katanya lagi. Aku mendengarkan dengan saksama. “Tetapi aku lega mbak, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mengobatkan putriku. Meskipun semua terjual habis untuk biaya pengobatan, aku lega. Putriku pergi setelah usahaku benar-benar maksimal.”

Aku mengangguk sambil memandang mata ibu itu. Matanya seperti danau jernih yang membuatku berenang dalam kesejukan. Tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan mengajaknya ke ruang lain. Aku mempersilakan ibu itu. Dalam langkah-langkahnya menjauhi ruang tunggu, aku seperti melihat bayangan ibuku bergegas menghampiriku.
“Kalau saja bebanmu bisa beralih pada ibu, maka ibu dengan senang hati akan menanggungnya agar kau tak bersedih,” samar terdengar suara ibuku.

Buru-buru aku membaca kembali bukuku. Aku tak mau sore ini jadi melankolis.

Sunday, November 25, 2007

Mengenal Andrea

Ruang pojok toko buku itu sesak oleh pengunjung. Mereka histeris begitu Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi masuk ruang talk show. Luar biasa! Nenek-nenek, ibu-ibu, mbak-mbak, tante-tante dan adik-adik. Baru kali ini saya melihat masyarakat Indonesia begitu antusias terhadap seorang penulis. Mereka bahkan menganjurkan tetralogi Laskar Pelangi menjadi bacaan wajib orang Indonesia. Seorang teman lama saya yang sekarang mukim di Samarinda juga mengatakan begitu dengan penuh semangat melalui telepon.

Laskar Pelangi menjadi sebuah fenomena. Penulisnya tidak berniat menjadi penulis atau menerbitkan buku itu, tapi kemudian meledak menjadi bacaan banyak kalangan. Andrea dalam sesi wawancara mengatakan, ia hanya ingin menulis buku sebagai hadiah untuk gurunya, namun seorang teman mencuri naskah itu dan mengirimkan ke penerbit. Dan begitulah jadinya. Laskar Pelangi cetak ulang beberapa kali dan membuat banyak orang histeris.
Saya justru terkesan dengan sikap Andrea yang sangat rendah hati. Dia bilang, "saya bukan penulis, saya belum pernah menulis cerpen sekalipun, saya hanya muncul karena kecelakaan. semua ini bisa terjadi karena guru saya, teman-teman saya dan tentu saja pembaca. sama sekali bukan karena saya. sekali lagi saya bukan penulis yang baik, bahkan bisa dibilang saya pembaca sastra yang buruk."

Sambil tersenyum malu-malu ketika pengunjung memintanya berdiri, Andrea mengatakan bahwa keseluruhan buku Laskar Pelangi berisi semangat tentang orang-orang kalangan marjinal namun tak ingin dimarjinalkan. Mereka berjuang meraih mimpi-mimpinya ketika banyak orang memiliki uang dan kesempatan justru memarjinalkan dirinya dengan kemalasan.
Siang itu saya melihat kerendahan hati seseorang makin bersinar ketika bersanding dengan kesuksesan. Seribu kali salut untuk Andrea!








Friday, November 16, 2007

FRESH SETELAH KETAKUTAN???


Suara orang berteriak tiba-tiba berhenti saat listrik mati. Berganti suara sorak-sorai dan ‘huuu’ menertawakan mereka yang terkatung-katung di atas dengan kepala terjungkal di bawah. Aku hanya melongo menyaksikan itu. Apa mereka itu tidak takut? Syukurlah, tak lama listrik kembali normal.

Dunia Fantasi. Dunia yang memang penuh fantasi. Siang itu sebenarnya aku hanya pengen ikut satu acara tanpa keinginan naik macam-macam mainan di sana. Tapi seseorang memaksaku naik roaler coaster. Karena teringat “Riding The Bullet”-nya Stephen King aku tertantang juga. Alhasil, turun dari roaler coaster darahku rasanya lenyap, perut mual dan dadaku sesak.

Sepertinya banyak orang yang refreshing dengan melakukan kegiatan menantang seperti itu. Terbang di ketinggian, jungkir balik serta kegiatan berbahaya lainnya. Setelah berteriak-teriak hebat, mereka merasa beban pikirannya berkurang. Mungkin ini bisa menjadi salah satu terapi buat mengobati stress. Benarkah begitu Mr. Psikiater? Kali aja ada psikiater lewat blog ini. Hehehe. Kecuali aku, yang malah stress setelah bermain.

“Jadi, kapan loe berani naik? ” tanya temenku. “Penakut loe!”
Aku tertawa saja.

Setiap manusia unik dan berbeda. Aku adalah aku bukan mereka. Mungkin mereka bisa refreshing dengan mainan-mainan itu tapi mereka tidak bisa refreshing dengan jalan-jalan ke tempat baru sepertiku. Jadi, kenapa harus dibikin seragam kalau kita memang berbeda? Ayolah guys! Berbeda itu indah!
(ngeles karena memang takut naik kaleee…..hahahaha)


Wednesday, October 31, 2007

PADA HUJAN YANG LAIN

foto by : m. arman. az
Pada hujan yang lain
Kita bertemu di sudut bandara tua
Kau tersenyum melambaikan tangan
Aku menghitung sisa kenangan

Terlalu sesak hari yang ingin kita bagi
Setelah tahun-tahun sepi berlari
Menumpas asa dan mimpi

Masih kulihat murung di wajahmu
Seperti malam tak pernah berganti pagi
Seharusnya kau izinkan matahari itu terbit
Sebab malammu telah letih

Pada hujan yang lain
Kita berjalan menuju kota lama
Adakah jejak kita tersisa?
Kau tersenyum mengenang
Aku gemetar ;
jejakmu masih kusimpan dalam lemari kaca

(26.10.2007)

Monday, August 20, 2007

BUDAYA ASMAT YANG EXOTIS

Indonesia memiliki bermacam suku dengan beragam kebudayaan yang exotis, tetapi hanya segelintir orang zaman sekarang (baca: yang telah mabuk oleh modernisasi) mau peduli dan mau menikmati ke-exotisan itu. Arus budaya barat yang deras membuat kita merasa asing dengan kebudayaan sendiri. Padahal kalau kita mau menengok sejenak, kita akan melihat akar kepribadian bangsa Indonesia; ramah, tulus, penuh kasih sayang, bersahabat, toleran, tidak membeda-bedakan dan cinta persaudaraan.

Nyaris tak ada teman yang tertarik ketika saya ajak mengunjungi ASMAT BEORPITS FESTIVAL, 12-19 Agustus di Pantai Carnaval Ancol. Namun, seorang teman yang pernah penelitian tentang Masyarakat Baduy bersedia menemani saya untuk bertemu, berkenalan, ngobrol dan melihat ke-exotisan budaya Asmat.

Seperti dugaan saya, lokasi festival sepi pengunjung (atau mungkin karena bukan hari libur?). Saya berdua teman agak ragu-ragu memasuki lokasi, namun seorang kameramen dari Indosiar mengajak kami bareng menuju lokasi. Di pantai Carnaval, suku Asmat menampilkan kehidupan asli mereka dengan membangun rumah adat, memahat dan mengukir, menari dalam gerakan-gerakan ritmis, upacara-upacara adat dan pertunjukan manusia perahu. Kebanyakan pengunjung hari itu adalah wartawan media cetak dan elektronik, kameramen dan potografer.

“Topi ini terbuat dari kulit Kuskus, binatang sejenis Harimau. Hiasan ini terbuat dari kerang dan bulu-bulu putih ini dari hewan sejenis angsa, ada juga yang bulu burung cenderawasih” kata pemuda Asmat bernama Jackson yang ngobrol dengan saya di pinggir pantai. “Coba kamu pakai di atas kerudungmu, terus di foto sama bapak itu, pasti bagus sekali,” tambahnya tersenyum.

Saya ikut tersenyum ketika teman kameramen itu kemudian benar-benar mengarahkan kameranya ke saya dan Jackson. Lalu seorang lelaki Asmat lain yang lebih tua menghampiri kami. Dia menjelaskan tentang hiasan ditubuhnya yang telanjang, “hiasan di dada dan punggung ini sesuka kami menghiasnya. Yang warna putih menggunakan kapur,” katanya.

Di bagian depan beberapa lelaki Asmat tampak sedang memahat dan mengukir. Gerak tangannya begitu terlatih memahat dan mengukir tanpa pola. “Untuk bahan kayu panjang ini, selesai dalam tiga hari. Tetapi yang kecil lebih cepat.”
Saya menimang hasil pahatan berupa burung dan patung khas Asmat. Menarik sekali!

Tak terasa sudah 5 jam saya bersama saudara-saudara dari Asmat. Dari senyuman malu-malu, obrolan dan tatapan mata mereka, saya bisa merasakan persahabatan yang tulus. Mereka juga sangat ramah. Yakobus Kopakci, salah satu kepala dusun juga bersedia ngobrol dan berfoto bersama kami bahkan menjelaskan hal-hal yang ingin kami tahu.

“Tahun depan, kami akan datang lagi ke Jakarta dengan membawa perempuan, kemarin mendadak jadi perempuan tidak ikut. Dan rumah adat yang kami bangun akan lebih besar lagi nanti,” kata Jackson lagi.

Semua rombongan itu terdiri dari 200 orang dan mereka berencana kembali ke Asmat tanggal 22 Agustus. Menjelang malam saya meninggalkan lokasi festival dengan perasaan haru. Dari mereka saya belajar kesederhanaan, ketulusan dan persahabatan.
“Semoga tahun depan saya bisa berjumpa mereka lagi,” kataku dalam hati sambil sekali lagi menoleh ke arah rumah adat mereka sebelum benar-benar pulang.
(Text. Tary. Doc. Sutrisna Ramli)

Wednesday, June 20, 2007

Sahabat Baru

Bukan main gembiranya Sasa, jerih payahnya selama ini membuahkan hasil. Pada cawu kali ini Sasa menduduki peringkat dua. Itu artinya dia akan berlibur ke luar negeri seperti yang dijanjikan kedua orang tuanya. Sasa akan segera menceritakan kepada Lia, Vena dan Nia yang selama ini selalu mengisi liburan dengan pergi ke luar negeri.


Akan tetapi kegembiraan Sasa seketika hilang. Nenek Sasa mengirim surat. Beliau minta ditemani Sasa pada liburan kali ini. Sementara kedua orang tua Sasa juga mendorong Sasa untuk memenuhi permintaan Nenek. Dengan berat hati akhirnya Sasa mau juga berlibur ke rumah nenek.


Tak disangka justru di rumah nenek inilah Sasa mendapat sahabat baru yang menyenangkan. Jadilah liburan kali ini penuh dengan kisah petualangan yang menarik dan mendebarkan. Apa saja kisah-kisah Sasa dan sahabat barunya? Mengapa Sasa merasa bahwa liburan kali ini sangat berkesan? Ikuti saja kisahnya dalam SAHABAT BARU!

Thursday, April 12, 2007

Ehe, Ketemu Lagi!

Sudah beberapa kali seorang teman sms, mengingatkan acara seminar sastra di UI siang itu. Tapi malas banget datang. Alasan pertama karena jauh, rutenya nggak tahu dan takut nyasar. Kedua, karena sudah agak jenuh dengan diskusi-diskusi sejenis, tahun-tahun lalu sudah sering ikut. Ketiga, sebenarnya pengin merenggang sedikit dengan orang yang itu-itu saja agar dunia berwarna lain.

Setelah pikir-pikir, nggak ada salahnya datang. Alasan pertama (banyak banget alasan, ya!) pengin ketemu dengan teman lama yang kebetulan jadi pembicara. Kedua, pengin naik kereta api. Ketiga, acaranya gratis. (suka gratisan!)

Sayang sekali, karena kebiasaan nyasar, saya terlambat 2 jam. Tapi nggak masalah, masih kebagian ujungnya materi dan teman lama saya bahkan belum datang. Jadwal dia ternyata sore. “Aku masih di jalan! Oke, kita ketemu di UI, ya!” katanya lewat sms. Seperti apa wong Solo itu sekarang? Aku teringat pertemuan terakhir kami di Yogya, 2 tahun lalu. Setelah setahun kepindahannya ke Jakarta, berkali-kali dia ngajak ketemu. Tapi aku selalu ingkar ^_^. Padahal sebenarnya pengin banget ketemu dia. Mungkin takdirnya memang baru dipertemukan di UI siang itu. Ceilaaa…!

Saya melihat dia memasuki ruangan. Mengenakan jaket jeans dan celana hitam. Rambut gondrongnya diikat sembarangan. Ternyata, dia masih benci menyisir rambut :P. Sepasang bola matanya berputar-putar di balik kacamata minus. Mencari-cari. Aku serasa yakin dan bukan GR bahwa dia mencari saya. Ternyata memang benar, hihihi! Surprise banget pertemuan itu. Setelah melampiaskan gemasnya, meloncatlah cerita dari bibirnya. Tentang deadline tulisan, novel grafis yang sedang dikerjakannya dan bla bla bla lainnya. Sampai kemudian, sesi dia untuk bicara tiba.

Dia masih orang yang sama. Aku selalu mendapatkan semangat berkarya dari antusiasmenya dalam dunia penulisan. “Sungguh, senang bertemu denganmu lagi, RK…! Kutunggu novel grafismu!” :)

Sunday, April 01, 2007

Hadiah

Suatu siang. Seorang pemuda menghampiri dua gadis yang duduk di pojok kafe dan mengajaknya ngobrol. Mereka sudah saling kenal sejak lama. Tiba-tiba sang pemuda mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam ranselnya dan mengulurkan kepada salah satu gadis itu.

“Ini untukmu,” katanya.
Sang gadis mengerutkan kening. Ia teringat beberapa bungkusan yang diberikan pemuda itu kepadanya. Isinya macam-macam. Ada buku-buku favoritnya, cindera mata dan lukisan. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya. Kenapa pemuda ini selalu memberiku hadiah? Teman gadisnya juga bertanya-tanya dalam hati, apa mau pemuda ini hingga dia selalu bermurah hati?

Memberi hadiah merupakan salah satu cara untuk mempererat tali silaturahim. Tetapi tak sedikit dari kita yang kemudian menyalahgunakannya. Sehingga penerima hadiah bertanya-tanya dengan prasangka, apa maunya? Ada beberapa tipe orang di sini ; pertama, ada orang yang memang betul-betul baik mau melakukan apa saja untuk menjalin silaturahim, kedua, ada orang yang memiliki kemauan tersembunyi dan dibarengi hal-hal yang baik, ketiga, ada orang yang memiliki kemauan tersembunyi dengan cara pura-pura baik.

Termasuk yang manakah orang-orang di sekeliling kita? Dengan orang kategori pertama, kita bisa mempererat tali silaturahim dengan balik memberi hadiah. Kategori kedua, kita harus mempersiapkan diri untuk memberi jawaban (hahaha! Dia memberi hadiah karena pengin ngelamar misalnya?) dan jika termasuk kategori ketiga, kita harus berhati-hati karena kepura-puraan seringkali berakhir menyakitkan. Hadiah yang diberikan dengan berpura-pura baik, biasanya tidak disertai keikhlasan. Ada orang dalam kategori ini meminta balik hadiah yang telah diberikannya karena tidak mendapatkan respon sesuai harapan.

Menarik atau meminta kembali hadiah yang telah kita berikan kepada seseorang diharamkan dalam Islam. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda : “Orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah lalu memakan lagi muntahnya itu.” (HR. Bukhari). Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak dihalalkan seorang muslim memberi suatu pemberian, lalu menariknya kembali, kecuali orangtua pada apa yang telah diberikan kepada anaknya…” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tizmizi, an-Nas’i dan lain-lain). Artinya, hanya orangtua saja yang boleh menarik kembali hadiah yang telah diberikannya kepada anak-anaknya.

Nah, kita sendiri termasuk dalam kategori yang mana? Ayo kita bersihkan hati, luruskan niat sebelum memberi hadiah kepada seseorang. Bukankah segala sesuatu tergantung pada niatnya? Sstt! Ada satu kategori lagi lho! Yaitu orang yang suka mengoleksi hadiah tanpa memedulikan apa maunya si pemberi hadiah. (wah, yang ini mah gue bangettt! Hahaha!) :P~~~





Tuesday, March 20, 2007

Menepi di Maribaya

Pagi baru saja mulai. Aku duduk di beranda ruang pertemuan yang tak lagi terpakai. Menikmati air yang bergerak turun menghantam bebatuan di depan, kiri, kanan dan belakangku. Terkepung air terjun, aku seperti berada di tengah-tengah pulau penuh keajaiban. Aroma tanah, pohon pinus merkusi, daun-daun jatuh, suara burung dan binatang hutan. Memenuhi kepala dengan semua suara-suara alam sungguh menakjubkan bagi orang yang terbiasa dengan suara deru kendaraan dan televisi.

“Benar-benar fresh, ya?” seorang teman menghampiriku, mengarahkan kamera digitalnya ke air terjun. Aku tersenyum, mengangguk.
“Lumayan, meski aku lebih suka hutan-hutan yang masih perawan,” kataku.
Temanku ganti mengarahkan kameranya kepadaku. “Maksud loe hutan mana?”
“Loe pernah ke hutan Baduy, kan? Gue suka karena hutannya belum tersentuh tangan manusia. Masih benar-benar perawan. Apalagi orang-orang suku sana. Luar biasa!”
Temanku tertawa. “Jangan-jangan loe naksir orang Baduy? Ha ha ha!”

Awalnya aku tak punya rencana untuk pergi ke mana-mana long week end kali ini. Lagipula aku gak merasa berhak punya long week end. He he he! Maklumlah pekerja lepas tak pernah peduli kalender hitam atau merah. Tetapi teman-teman yang berhak atas kalender merah hitam itu tiba-tiba ‘memaksa’ (pemaksaaan yang menyenangkan, hihi) ke Maribaya lihat air terjun. Kata mereka pengin mengisi kepala dengan suara-suara alam. Its okelah, akhirnya aku ikut meski badan lagi meriang belina.

Maribaya merupakan wisata air terjun yang dikelilingi hutan. Berlokasi 5km dari Lembang Bandung kami tempuh dengan bermobil hingga kawasan hutan wisata. Ada beberapa tempat menarik yang bisa dinikmati di sana; goa peninggalan Belanda, berkuda dan beberapa situs bersejarah lainnya. Lumayan menarik tempatnya, hanya sayang fasilitas-fasilitas umum kurang diperhatikan. Contohnya, rumah-rumah penginapan yang kotor dan tidak teramat. Seperti tempat wisata lainnya, kawasan ini rame pada hari minggu dan sepi pada hari-hari biasa.

Dengan oleh-oleh satu kardus kaktus, kami kembali ke Jakarta. Semoga saja tafakur alam ini menjadikan teman-teman lebih fresh saat kembali bekerja dan otakku juga lebih lancar menyelesaikan masalah tokoh-tokoh dalam ceritaku. Tetapi lebih dari sekedar itu, menepi di kawasan air terjun Maribaya, mendekatkan diri dengan alam, seharusnya membuat kami lebih mengingat keberadaan diri sebagai hamba.

“Sungguh, Tuhan-mu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya.” (QS. Al-A’raf –54)

Thursday, March 15, 2007

Ketika Ide Membeku

“Kalau orang imajinatif mendapat masalah mental, maka batas antara sesuatu yang kelihatannya ada dengan yang benar-benar ada menjadi lenyap.”

Aku tertawa miris ketika membaca kata-kata itu. Hampir tiga bulan aku tidak memiliki tulisan yang berhasil kuselesaikan dengan gembira. Semua tulisan yang kukerjakan tak menimbulkan sensasi batin tersendiri. Aku menulis, namun hanya seperti menonton tokoh-tokoh dalam cerita itu beraksi. Aku tidak terlibat dalam kisah mereka, aku tidak ada kaitannya dengan mereka dan itu sangat membosankan. Tokoh-tokoh dalam ceritaku seolah berkata, “siapa loe!? Jangan ikut campur urusan gue!” Benar-benar menyebalkan.

Sampai kemudian, aku iseng membeli novel thrillernya Stephen King yang berjudul BAG OF BONES. Dalam keadaan bosan seperti itu, biasanya aku akan tambah error kalau tidak membaca sesuatu yang inspiratif. Ternyata aku nggak salah beli tuh! Novel itu memang bener-bener inspiratif buat penulis. Karena tokoh dalam novel itu kebetulan seorang novelis best seller dunia yang mengalami kebekuan ide setelah kematian istrinya. Dan so pasti, novel thriller Stephen King selalu dibumbui adegan menyeramkan.

Dalam novel itu, jelas banget tergambar kehidupan dan proses kreatif seorang novelis best seller dunia. Bagaimana ia menemukan ide tulisannya, perlakuan agen-agen penulis terhadapnya, mengatur penerbitan bukunya, proses publikasi yang tidak disukai sang tokoh karena ketika muncul di TV pertanyaan pertamanya selalu sama, “dari mana anda mendapatkan gagasan edan itu?” Bagi sang tokoh, proses publisitas itu rasanya seperti masuk ke bar sushi dan sang pengarang menjadi sushinya.
Hehehe, aku suka sekali bagian ini!

Melalui kehidupan tokohnya juga dipaparkan kondisi pribadi seorang penulis fiksi. Seperti bagaimana ia masih saja tak menduga bisa menulis sebuah buku, kebahagiaannya bisa mendapatkan nafkah dari pekerjaan yang disukainya, 6 jam menulis setiap hari dan ketidakpercayaan sebagian orang pada apa yang dikatakan sang tokoh karena dia seorang pengarang cerita, “begitulah kalau kebanyakan menulis fiksi, kata-katanya melantur.” Dan kalimat-kalimat yang jika anda penulis fiksi akan turut merasakan, misalnya : kalau malam tiba, tokoh-tokoh dalam cerita itu hidup dan menghantui penulisnya. Atau pengarang adalah orang yang mengajar pikirannya melayang ke mana-mana.

Jika membaca novel ini berurutan dengan ON WRITING-nya Stephen King, kita akan benar-benar belajar profesionalisme seorang novelis best seller dunia. Kalau BAG OF BONES adalah versi novel dengan imajinasi seram yang mencekam, namun ON WRITING adalah memoar perjalanan menulis Stephen King sejak ia berumur 9 tahun. Melihat tahun terbitnya, buku ini sepertinya dikerjakan secara berurutan.

Mungkin penulis yang sedang mengalami kebekuan ide perlu membaca buku ini sebagai hiburan. Siapa tahu ide anda kemudian mencair? Setidaknya, sekarang, tokoh-tokoh dalam ceritaku mulai mau tersenyum, “common guys! Kita bersahabat baik, kan?”
Betapa gawatnya kalau sudah ngomong sendiri kayak gini. He he he!

Sunday, March 11, 2007

Kapan Kita "Siap"?

Suatu siang di bulan Desember 2004, saya terpana melihat layar televisi. Ribuan mayat terserak bersama bangunan-bangunan runtuh. Serambi mekah luluh lantak. Saya disergap rasa takut luar biasa ketika datang kabar, seorang teman penulis meninggal dalam bencana tsunami yang menghantam Aceh. Lalu saya bertanya-tanya, bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban meninggal dari bencana itu? Siapkan saya bertemu maut?

Seiring mengecilnya porsi pemberitaan bencana tsunami di Aceh, saya kembali melanjutkan hidup, jarang berpikir tentang maut dan tidak bertanya-tanya dalam hati, “siapkah saya bertemu maut?”

Lalu berita bencana itu datang lagi. Gempa berskala besar menimpa Yogyakarta. Kota eksotis yang membuat saya jatuh cinta itu porak poranda. Rumah-rumah hancur, ribuan nyawa melayang dan rumah sakit penuh sesak korban luka. Ketakutan menyergap saya bersama pertanyaan; bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban? Siapkah saya bertemu maut?

Sepertinya, Allah memang sedang memperlihatkan pesan-Nya. Semburan lumpur, tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung dan musibah transfortasi menghantam bertubi-tubi. Dari menghilangnya pesawat, kapal tenggelam, kapal terbakar dan terakhir pesawat terbakar. Hampir setiap minggu saya melihat daftar nama korban meninggal dunia dalam jumlah kecil hingga besar. Dan setiap saat ketakutan itu menyergap saya diiringi pertanyaan; “sudah siapkah saya bertemu maut?”

Maut hampir setiap detik menjemput makhluk-makhluk bernyawa. Namun saya hanya sibuk bertanya-tanya; “sudah siapkah saya bertemu maut?” Sementara jawaban dari pertanyaan itu selalu sama; “saya belum siap. Saya belum punya bekal untuk mati.” Atau ketika musibah kecil menimpa saya, jauh di dalam hati saya menjerit, “ya Allah, jangan Kau ambil nyawaku sekarang, aku belum siap mati. Berilah aku waktu, aku berjanji akan memperbaiki diri.”

Setelah musibah-musibah itu berlalu, saya kembali melanjutkan hidup, mengikuti waktu yang berputar, tanpa usaha memperbaiki diri dan mengumpulkan bekal menghadapi mati.

Apakah anda juga mengalami hal sama seperti yang saya alami? Jika ya, lantas kapan sebenarnya kita bisa berkata pada diri kita sendiri; insya Allah saya siap bertemu maut.” Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Sedangkan maut akan datang kapan saja, tanpa kita bisa mengelak. Bisa lebih cepat dari yang kita duga, bisa pula lebih jauh dari yang kita sangka. Saat tidur, bekerja, bepergian atau apa saja, maut sangat dekat mengintai kita. Dan sudahkah kita menyiapkan diri? Berlomba-lomba dalam kebaikan, membenahi ibadah yang mulai kendor karena kesibukan, memperbanyak sedekah, mengamalkan ilmu yang kita miliki, mengisi sepertiga malam dengan munajat, membagi perhatian pada orang-orang yang membutuhkan dan mencuci hati yang mulai keruh karena tinta dosa. Sudahkah kita serius menyiapkan diri menghadapi mati?

Dalam sebuah hadist disebutkan, “orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati.” Dengan mengingat mati, seharusnya kita lebih serius memperbaiki diri dan menyiapkan bekal untuk kehidupan akherat. Semua pesan-Nya telah diperlihatkan kepada kita. Meski kita terbata-bata mengeja pesan itu, seharusnya kita tak hanya bisa bertanya, “kapan kita siap?” Tetapi juga harus berani menjawab, “insya Allah, sekarang saya telah mulai menyiapkan diri.”

Saturday, March 03, 2007

Setelah 9 Tahun

Apa yang terasa aneh setelah 9 tahun tidak bertemu?
Aku membayangkan ia akan melupakan wajahku, kebiasaanku dan senyumku. Maka kujelaskan warna baju, rok dan kerudung yang kukenakan. Sekedar untuk mempermudah pertemuan agar tak salah orang. Sedangkan aku tetap yakin bakal bisa mengenali dirinya, meski ada juga sedikit rasa khawatir, bahwa sekarang dia berubah sedemikian rupa.

Salah satu sudut Jakarta mempertemukan kami siang itu.
“Kaukah yang ada di pojok mengenakan t’shirt merah?” tanyaku melalui handphone.
Ia berbalik dan mencariku. “Iya. Kau yang berkerudung putih, baju kotak-kotak merah?”
Aku tertawa seraya berjalan menuju meja itu.
“Astaga! Tak kusangka kita ketemu di sini, Ri! Sudah 9 tahun berlalu!” katanya.

Ia memesan sebuah menu dan kami tenggelam dalam kenangan 9 tahun lalu. Jogja pernah mempertemukan kami sebagai sepasang sahabat. Usai wisuda kami lost kontak hingga sebulan lalu ia mendapatkan nomor ponselku dari seorang teman. Mengenang betapa konyolnya masa kuliah membuat kami terpingkal-pingkal. Bertukar informasi tentang keberadaan teman-teman yang bisa terlacak membuatku berada pada masa lalu.

Ia masih yang dulu. Perhatian, penyabar, banyak tersenyum dan hm…modis!
“Kau tak banyak berubah,” kataku.
“Ah, kau juga. Lihat piringmu!” ia menunjuk piringku. “Kupikir Jakarta merubah gaya makanmu yang sedikit itu menjadi banyak!” Dia tertawa lepas.
Aku meringis. “Aku senang kau masih yang dulu.”
“Aku berubah hanya untuk hal-hal yang menjadikanku lebih baik.”
“Cieee! Sok dewasa!” ledekku mencibir.

Menjelang petang kami berpisah dengan janji tetap menjaga persahabatan. Ada yang mengalir sejuk memenuhi ruang-ruang dadaku. Sahabat yang hilang itu telah kembali. Dan benar bahwa, menjaga silaturahmi akan memperpanjang umur kita. Karena semakin banyak saudara, dunia lebih berwarna, jauh dari apatis dan hidup lebih indah.
Jadi, kenapa kita musti mencari seorang musuh jika berjuta sahabat selalu kurang?

Wednesday, February 28, 2007

Biarkan Dia Pergi

Ia selalu gemetar setiap mengingat pertemuan itu. Keringat dingin mengucur dari kening dan perutnya mendadak kram. Terlintas bayangan dirinya berjalan di sepanjang trotoar, menertawakan diri sendiri lalu menepi di warung lesehan bawah jembatan layang.

“Kami hanya membunuh sepi,” pikirnya.
Ia mengenyahkan warna indah dari pertemuan itu. Ia tahu, orang yang pernah bersamanya menyusuri trotoar itu datang untuk menghidupkan kenangannya sendiri di kota itu. Bukan untuk mengenalinya, bukan untuk menemaninya, juga bukan untuk menulis kenangan baru dengannya.

Hingga suatu ketika, rasa itu datang tanpa dipinta.
Entah sudah berapa kali ia membunuh perasaannya, entah sudah berapa kali ia menghapus mimpi-mimpinya, dan entah sudah berapa kali ia berlari dari kenangan. Semua cara telah dicobanya. Dari yang biasa hingga yang paling ekstrim. Tetapi rasa tetaplah rasa. Semakin dahsyat ia menepis, semakin hebat pula rasa itu menyerangnya.

Di pulau yang lain, seseorang mungkin tak mengingat ia. Karena mungkin seseorang itu telah menciptakan kenangan-kenangan indah yang lain. Dan betapa bodohnya ia yang setia menunggu? Membiarkan dirinya terseret kenangan tanpa muara.

“Jika engkau mencintai seseorang, maka biarkan dia pergi”

Saturday, February 24, 2007

Dari Launching ke Launching

Acara launching buku selalu menjadi ajang menarik untuk ketemu teman-teman. Setelah beberapa lama hanya ketemu di tulisan, akhirnya bisa copy darat. Sibuk ngobrol ngalor ngidul sampai kemudian tidak mengikuti acara launching itu sendiri. Hehehe!
Itulah yang terjadi saat salah satu komunitas penulisan mengadakan launching sekaligus bazaar buku. Meski ruang tempat launching sempit, namun tak mengurangi minat teman-teman untuk meramaikan acara ini.

Dan ini dia yang ditunggu-tunggu. Seorang penulis (sahabat saya) memberikan bukunya yang baru saja dilaunching. Siapa sih, yang nggak suka buku gratis? Hihihi! Terima kasih untuk seorang lelaki yang memvonis saya sebagai ‘penulis modis’ (mo-nya dapat gratis!).
Setelah puas ngobrol sama teman-teman, menjelang senja saya pulang. Sebelum keluar ruangan seorang teman redaktur memanggil saya dan memperkenalkan dengan seorang penulis kawakan. Senangnya bisa berkenalan dengan Bapak yang sudah malang melintang di dunia cerpen Indonesia itu. Dan beliau berjanji untuk share ilmunya.

Dalam perjalanan pulang, saya menghitung launching demi launching buku yang saya hadiri. Lalu membayangkan suatu ketika buku terbaru saya dengan ‘gaya’ yang benar-benar ‘saya’ muncul di toko buku. Duh, kapan ya? Kekeke!
Pusing deh, soalnya nggak kelar-kelar!

Monday, February 19, 2007

Cinta Hakiki

Cinta adalah cinta adalah cinta adalah cinta. Itulah cinta hakiki yang terlalu sederhana jika dideskripsikan atau didefinisikan dengan bahasa manusia. Sebab ia adalah hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bebijian, memekarkan bebungaan, meranumkan bebuahan. Sebab ia adalah matahari yang menyinari bumi dan mengalirkan energinya hingga dunia mempertontonkan aneka gerak dinamis para penghuninya. Sebab ia adalah oksigen yang memenuhi paru-paru kita, ia adalah akal yang membuat kita berbeda dengan makhluk lain, ia adalah nurani yang membuat kita beradab.

Banyak orang mencari cinta, namun hanya sedikit yang mampu menggapai kehakikian. Cinta hakiki hanya dapat diselami oleh para perindu surga. Ia tak mungkin dimiliki dan dipahami oleh mereka yang hanya merindu dunia.

Siapakah dia penyelam cinta sejati? Ia adalah Rasulullah yang cintanya pada Allah membuat ia rela bersandingkan bulan dan matahari demi kejayaan dakwah. Ia yang rela tidur beralaskan pelepah kurma kasar, menggantungkan batu di perut untuk menahankan lapar dan berpeluh mengangkat karung gandum dengan bahunya sendiri demi menjadikan dirinya benderang dunia bagi sekalian makhluk. Dialah satu-satunya sosok manusia yang masih tetap lekat ingatan pada nasib umatnya meski urat-urat lehernya tengah teregang menahankan dasyatnya sakaratul maut. Ingkatkah kita padanya? Rindukah kita padanya? Cintakah kita padanya…?

Ia adalah Usman Bin Affan yang kekayaannya adalah berkah bagi kaum dhuafa. Ia yang merelakan 1000 kafilah unta penuh berisi bahan makanan dibagikan pada segenap penduduk Madinah yang membutuhkan demi memilih berniaga dengan balasan cinta hakiki. Ia adalah Abdullah bin Abbas yang muda usia namun luas ilmunya. Ia adalah Nasibah yang keperempuannya melindungi Rasulullah dalam perang Uhud. Ia adalah si gembala kecil yang membuat Umar menangis karena pertanyaannya: Fainallah…,saat diminta memerah susu kambing tanpa izin pemiliknya. Ia adalah Zainab Binti Jahsy yang keterampilannya berusaha membuat ia banyak bersedekah.

Dimanakah kini bisa kita temui sosok sosok perindu surga penyelam cinta hakiki?
Sujud-sujud panjang yang kita lakukan semoga menjelmakan kita menjadi pribadi baru yang lebih ikhlas, lebih sabar, lebih bersahaja, lebih bekerja keras, lebih bisa menghargai diri sendiri dan orang lain, lebih mudah empati, lebih bertanggungjawab, lebih bersyukur, lebih cerdas, dan tentu saja lebih ingat betapa Allah dan RasulNya amat sangat mencintai kita…

(sumber majalah Ummi)

Sunday, February 18, 2007

Bunga Senggani

Dari jendela ini aku melihat bayangan masa kecilku melintas. Bermain di halaman bersama kawan-kawan. Berbagai mainan berserakan. Balok-balok kayu, boneka, alat masak-masakan, pelepah pisang, tanah liat, daun-daunan dan berbagai jenis bunga. Sesekali ada petasan dan layang-layang jika bengalku sebagai anak perempuan kambuh.
Namun tentu saja aku lebih menyukai bunga daripada petasan. Bunga yang kusukai bernama bunga senggani. Kelopaknya kecil dan warnanya ungu. Bunga itu hanya tumbuh dilereng-lereng pegunungan. Susah ditemukan di dataran. Dan seseorang selalu membawakannya untukku.

Mbok Mis. Begitu aku memanggil wanita tua itu. Dia turun gunung setiap minggu untuk membantu pekerjaan di rumah nenek. Setiap kali datang, dia selalu menyempatkan diri menemuiku dan membawakan seikat bunga senggani. Duh, senangnya hatiku kala itu.

Suatu kali Mbok Mis menanyaiku. “ Kalau besar ingin jadi apa, Neng?”
“Jadi penari.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa menghibur banyak orang dan keliling dunia,” kataku.
Aku suka menari sejak kecil dan terobsesi keliling dunia dengan profesi itu. Mbok Mis juga sering menonton ketika aku mementaskan tari-tari klasik di berbagai tempat. Namun bersamaan waktu yang bergulir, keinginan itu berubah total. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku memilih menjadi orang merdeka dalam waktu, merdeka dengan kemauanku. Tak seorang pun tempat aku harus tunduk serta mematuhi segala macam perintah atas-atasan yang berjenjang-jenjang pangkatnya dan berlapis-lapis strukturnya. Aku akan hidup seperti air. Mengalir. Terus mengalir. Bila terbentur berbelok. Ketemu jeram terjun. Musim hujan banjir. Musim kemarau kering. Aku yakin tidak ada siapa pun, baik hartawan, birokrat atau politisi akan dapat mengecap betapa nikmatnya hidup seperti ini.

Pilihan itulah yang membawaku pulang. Meninggalkan hiruk-pikuk metropolitan dengan jamuan kesemuannya. Kini, ketika aku tegak di jendela ini, aku mengenang Mbok Mis dengan rasa merdeka. Menghadirkan sosoknya utuh. Berpinjung kain kusam, berkebaya corak memudar, rambut di gelung dan gurauannya yang membuatku terbahak. Tangan keriputnya mengulurkan seikat bunga senggani ungu indah. Aku tersenyum dan Mbok Mis mencubit pipiku. Dari ruang tengah kulihat Ibu menggeleng-geleng melihat keakrabanku dengan Mbok Mis.
Meski sosok itu telah berpulang lima belas tahun yang lalu, tapi dia tetap hidup dalam sanubariku. Kutancapkan seikat bunga senggani beserta doa setiap saat kukunjungi kuburnya. Terima kasih Mbok, kau telah membuat masa kanakku penuh tawa.




Saturday, February 17, 2007

“Kekasih Gelap” Sanie B. Kuncoro

Adalah Senja, seorang kekasih gelap dalam kehidupan Ruben. Laki-laki memang acap memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga untuk memilih perselingkuhan sebagai jalan keluar. Dengan kenyataan itu, mampukah para kekasih gelap, khususnya perempuan, menghindar dari perasaan keperempuannya untuk mendapatkan sekaligus memilih sebuah keputusan terbaik? Lalu, ke mana seharusnya Senja melangkah?

“Kekasih Gelap” adalah buku kumpulan novelet Sanie B.Kuncoro yang diterbitkan C Publising (Bentang Pustaka). Dalam buku ini ada dua judul novelet yakni “Jalan Sunyi” dan “Kekasih Gelap”. “Kekasih Gelap” yang berjudul asli “Pilihan Senja” ini pernah menyabet juara II Lomba Cerber majalah Femina tahun 2003.

Saya mengenal nama Sanie B.Kuncoro dari fiksi-fiksi di majalah Femina. Kala itu saya hanya seorang penggemar segala macam fiksi dan belum berpikir untuk menulis. Gaya menulis Sanie romantis, lembut dan menyiratkan optimisme. Setiap membaca fiksi, saya memiliki kebiasaan untuk mencari tahu lebih detail latar belakang ‘pengarang’nya. Begitu juga dengan Sanie B. Kuncoro. Sayangnya, fiksi di majalah Femina tidak menyertakan biodata penulisnya. Dan biodata tentang Sanie B.Kuncoro saya temukan pada edisi 10 tahun Femina yang mengulas beberapa generasi penulis Femina dari zaman batu hingga zaman modern. Dalam edisi itu ada Nano Riantiarno, Ratna Indrawari Ibrahim, Marga T dan beberapa penulis era setelahnya, salah satunya Sanie B.Kuncoro.

Tahun 2003, tanpa terduga, cerpen saya yang berjudul “Rute Kasih” nampang di lembar fiksi Femina. Setelah pemunculan pertama itu, berturut-turut muncul cerpen “Tamu”, “Perempuan Senja”, “Bayang-Bayang”, “Tiga Malam di Jogja”, “Sahabat Lola” dan yang terbaru (bulan lalu) sebuah cerpen thriller berjudul “Matahariku”. Disela pemunculan cerpen-cerpen itu nampang juga cerita bersambung berjudul, “Ayah”. Seiring dengan bermunculan penulis-penulis baru, saya perhatikan, tulisan-tulisan Sanie B.Kuncoro masih terus rutin mengisi lembar fiksi Femina bahkan menyabet juara 2 Lomba Cerpen Femina 2006. Saya mengagumi produktivitas Sanie.

Desember 2006 lalu, tanpa terduga pula, saya dapat bertatap muka dengan Sanie B.Kuncoro di Surabaya. Setiap bertemu penulis yang karyanya menarik (bagi saya) adalah kepengin ngobrol dan bertanya ini itu tentang proses kreatifnya. Sebelum acara mulai, saya sudah bolak-balik bertanya kepada pemandu, “apakah Sanie sudah datang?” dan teman-teman menertawakan saya. “Penasaran amat sih, Ri?”

Begitulah. Sampai buku “Kekasih Gelap” plus tanda tangan asli penulisnya ini sampai di tangan saya, insya Allah pertemanan kami terus bergulir. Saya tersenyum membaca kata-kata di atas tanda tangan, “welcome to my imagination world.”
Terima kasih untuk kiriman buku dan waktunya berbagi ilmu penulisan :)

Wednesday, February 14, 2007

Menunggu Kereta Tiba

aku masih menunggu kereta tiba
di peron yang gemuruh
sinyal belum juga dibuka
rel terasa beku, menggigilkan tubuhku
kau yang kunanti belum datang
padahal aku sudah ingin pulang
dengan kereta penghabisan
yang datang dan pergi
tak pernah tepat waktu
(si perantau itu makin ragu
untuk sampai di rumah masalalu
sebelum ada kereta yang datang
dan melintas di rel yang lengang)
di ujung peron di sedikit
waktu yang menunggu
aku pun semakin gelisah
“dengan kereta apa
aku bisa sampai di rumah?”
hari semakin petang
sedang aku rindu sekali pulang

(sajak Isbedy Stiawan ZS dari buku LAUT AKHIR)
Senangnya, dapat kiriman buku LAUT AKHIR langsung dari penulisnya.
Terima kasih…:)

Monday, February 12, 2007

Tamu Istimewa

Malam itu rombongan tamu datang ke rumah. Kaget juga, karena nggak ngetuk pintu dulu. Menyelinap masuk begitu saja. Dini hari pula!
Dengan gaya penerima tamu yang baik, mbakku mempersilakan tamu itu duduk.
“Selamat datang, silakan masuk, silakan duduk!”



Dan nggak sampai dua jam rumah kami sudah penuh tamu. Alhasil dini hari itu semua penghuni sibuk luar biasa. Menyisihkan barang-barang untuk tempat sang tamu yang semakin pagi semakin banyak. Kami mengalah untuk ngungsi ke lantai 2. Dini hari yang heboh!

Tamu istimewa ini datang lebih banyak setelah kedatangannya tahun 2002 lalu. Saya masih ingat 5 tahun lalu naik di atap becak sepulang dari kantor dan Ibu menunggu saya dari lantai 2 rumah dengan was-was. Soalnya tamu istimewa itu memenuhi jalan menuju perumahan hingga di muka pintu rumah. Minggu ini rumah kami 4 kali kedatangan tamu istimewa. Luar biasa capek meladeni mereka. Apalagi setelah mereka pulang kami harus bersih-bersih seluruh ruang rumah yang mirip kapal pecah. Tetapi tak semua kedatangan tamu istimewa itu membuat kesedihan. Buktinya banyak orang-orang komplek yang sengaja jalan-jalan keliling sambil membawa video atau digicam (bukan wartawan lho!) tapi mereka memang pengin mengabadikan moment indah bersama tamu istimewa. Anak-anak kecil bersenang-senang main bola, perahu buatan dari galon aqua atau berenang bersama tamu istimewa. Mereka juga berteriak-teriak takjub melihat kepiting, belut, ikan masuk ke dalam rumah.



Hampir seluruh Jakarta, Februari tahun ini kedatangan tamu istimewa. Prihatin melihat tamu-tamu itu mendesak pemilik rumah kelas menengah ke bawah berpindah ke tenda-tenda pengungsian, pinggir tol bahkan pemakaman. Ternyata tamu istimewa yang menyambangi Jakarta tahun ini tak main-main. Beberapa nyawa melayang dan hilang. Tak sedikit pula warga yang tak sempat menyelamatkan harta bendanya. “Semua kembali dari nol. Tapi kami beryukur masih hidup,” kata seorang teman di Tangerang.

Malam jum’at semua penghuni rumah kecapekan bersih-bersih dan saya tak bisa memejamkan mata. Saya nonton ROAD TO di TV sambil sms beberapa teman untuk menanyakan keadaan. Jawaban mereka : “gw masih ngungsi di lantai atas, lantai bwh setinggi perut! Listrik mati!”, “gw terjebak di rumah, semua jalan keluar tertutup. Listrik dan telpon almarhum. Gw melamun sambil nonton lilin meleleh!”



Tamu lima tahunan itu memang istimewa, tapi menyengsarakan. Daripada ribut saling menyalahkan, kita mulai dari diri sendiri. Buang sampah pada tempatnya dan menjaga lingkungan masing-masing. Semoga tamu istimewa itu nggak datang-datang lagi. Soalnya, bener-bener caaapeeek deh!

Saturday, February 03, 2007

Hujan Februari

Aku mengenang hari yang sama
Ketika deras hujan memerangkap kita
Jejak empat kaki membunuh sepi
Di sepanjang trotoar Jogja

Aku mengenang hari yang sama
Ketika angin menampar wajah kita
Perahu menjauh tanpa sauh
Meninggalkan pelabuhan

Aku mengenang hari yang sama
Ketika waktu hendak menjadi abu
Cahaya matamu meredup
Lenyap bersama kabut

(01.02.07)

Monday, January 22, 2007

Aku & Duniaku


Menulis adalah mencipta duniamu sendiri.
Senang, sedih, bahagia, menderita.
Kaulah raja dan semuanya harap minggir!
He he he...

Thursday, January 18, 2007

TELEVISI & WAKTU

Tiba-tiba aku sangat membenci televisi.
Kotak ajaib itu benar-benar sihir modern yang dapat merubah orang di hadapannya menjadi bego. Bagaimana tidak? Banyak orang menjadi tidak produktif karena kecanduan nonton televisi yang kebanyakan menayangkan sinetron-sinetron jiplakan itu. Benar-benar banyak akibat negatifnya ketimbang positipnya.

Fa, anak tetangga yang duduk di bangku SMP betah duduk seharian di depan kotak ajaib itu dan terbengong-bengong seperti sapi ompong. Ibunyapun sama. Sambil menunggu suaminya pulang dari kantor, dia akan melotot melihat semua tayangan infotainment. Sampai-sampai kalau ditanya nama kucing para artis itu dia hafal. Luar biasa! Ada lagi, Zi, bocah kecil tujuh tahun yang suka menendang pembantunya karena terobsesi menjadi pahlawannya : John Cena. Alangkah ironis pahlawan pilihannya.

Dalam sehari kita memiliki waktu 24 jam untuk berbagai macam kegiatan. Lalu bagaimana kita memaksimalkan waktu 24 jam itu untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat? Bagi orang yang kecanduan nonton televisi, tanpa mereka sadari televisi telah merampok waktu yang dijatahkan Allah. Tentu saja, karena asyik melototin televisi jadi lupa beribadah, lupa bersosialisasi dan lupa segalanya.

Banyak dari kita tidak menyadari bahwa waktu kita tinggal sedikit. Kita tidak pernah tahu maut akan datang satu jam lagi, satu menit lagi atau bahkan satu detik lagi. Pernahkah kita membayangkan kalau tiba-tiba maut datang menjemput, saat kita melotot menikmati tanyangan infotainment? Dan kita baru menyadari bahwa karunia waktu, umur, yang diberikan kepada kita habis di makan televisi.

Seorang ibu rumah tangga mungkin akan mengatakan bahwa nonton infotainment adalah hiburan. Tetapi, hiburan macam apa kalau tayangan itu anda konsumsi 24 jam setiap hari? Tidakkah anda bisa melakukan hal-hal positip yang lebih produktif sambil menunggu suami anda pulang dari kantor? Oke, anda sudah berkomitmen untuk tidak bekerja di luar karena ingin mengasuh anak dan melayani suami tanpa cela. Tetapi tidak berarti di rumah untuk menghabiskan waktu di depan televisi, bukan?

Dalam buku ON WRITING, Stephen King mengatakan :” jika kau ingin menjadi penulis beneran, hindarilah kotak sialan itu.” Ia juga menyarankan lebih banyak membaca ketimbang menonton televisi. Ya, iyalah…! Buat apa menonton televisi yang sinetron-sinetronnya jiplakan semua itu? Benar-benar pelecehan kreativitas. Masa sih, penulis kita tidak bisa membuat cerita bagus asli Indonesia? Teman saya yang seorang penulis skenario di ujung sana tertawa sambil berkata : “masalahnya tetap pada sekelompok orang yang memiliki uang, sementara aku butuh makan.”

Duh, aku semakin membenci televisi.

Tuesday, January 02, 2007

Surabaya, oh Surabaya


Untuk ke tiga kalinya aku ke Surabaya. Ibukota tanah kelahiranku ini sama sekali bukan kota favoritku sih, tetapi beberapa hal mengharuskanku ke sana. Salah satunya memenuhi undangan Tabloid Nyata, salah satu media Jawa Pos group. Begitulah, Sabtu pagi aku sudah kongkow di bandara menunggu tiga orang teman lainnya yang juga bakal berangkat ke Surabaya. Setelah 3 jam nunggu, mereka datang dengan wajah prihatin. Bagiku, nggak masalah menunggu lama. Memangnya kenapa? Aku toh pernah seharian duduk-duduk di stasiun kereta atau berjam-jam di terminal hanya untuk melihat lalu lalang penumpang. Asyik aja lagi!

Sampai bandara Juanda kami nggak ketemu penjemputnya. Akhirnya dengan gaya kostum travelingku yang amburadul, kami di bawa ke Graha Pena. Ya ampun! Mana ketemu buanyak manusia pas makan siang. Tapi cuek sajalah, Belanda sudah tidak menjajah bukan? Toh, setelah kenalan dan makan kami diantar ke hotel, dikasih rundown acara, selembar PR dan aku terkapar karena maghku kambuh.

Jam 7 malam dengan lambung perih, aku bergabung dengan teman-teman baru untuk ketemu kru Tabloid Nyata. Wah, seneng banget ketemu orang-orang baru yang notabene semua gemar menulis. Mobil kijang itu jadi rame. Semua ngobrol dan berbagi pengalaman. Ada Silvy, seorang pengacara dan penyair muda yang puisinya sering nampang di Horison. Ada Yenny, desain grafis yang menulis teenlit. Ada Eryka, anak Jogja yang baru menyadari bahwa dia suka menulis novel. Trus ada Ade, Hadi, Farid, reporter dan fotografer Nyata yang sabar ngurusin kita-kita. Hehe, heboh deh!

Acara ramah tamah dengan semua kru Tabloid Nyata semakin heboh ketika Sanie B.Kuncoro (penulis Femina kawakan), Lan Fang dan Mas Arief (redaktur budaya Jawa Pos) datang. Akhirnya kami ngobrol sampai jam 10 malam. Setelahnya Mas Arief ngajak keliling kantor Jawa Pos seperti janjinya.
Macet luar biasa membuat kami baru makan malam jam 11 dan sampai hotel jam 12! Lalu jam berapakah tidur? Kira-kira dini hari aku baru bisa tidur! Setelah freetalk sama beberapa teman di luar kota. Ck ck ck!

Esoknya, kami bergabung dengan acara Fun Female di taman Surya. Baru siangnya jalan-jalan keliling Surabaya. Teman-teman mengusulkan beberapa hari lagi di Surabaya, tetapi apa menariknya, sih? Surabaya yang panas, Surabaya yang macet dan Surabaya yang tak menginspirasiku…hihihi, so? Aku tak keberatan ketika siang cek out hotel dan sore diantar ke bandara Juanda buat balik ke Jakarta. Meski bukan kota kenangan, setidaknya Surabaya telah mempertemukanku dengan banyak sahabat-sahabat baru. Thanks buat semua kru Nyata dan teman-teman Jawa Pos yang luar biasa. Juga special buat Mbak Lan Fang yang menginspirasiku. Salut!