Sunday, March 11, 2007

Kapan Kita "Siap"?

Suatu siang di bulan Desember 2004, saya terpana melihat layar televisi. Ribuan mayat terserak bersama bangunan-bangunan runtuh. Serambi mekah luluh lantak. Saya disergap rasa takut luar biasa ketika datang kabar, seorang teman penulis meninggal dalam bencana tsunami yang menghantam Aceh. Lalu saya bertanya-tanya, bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban meninggal dari bencana itu? Siapkan saya bertemu maut?

Seiring mengecilnya porsi pemberitaan bencana tsunami di Aceh, saya kembali melanjutkan hidup, jarang berpikir tentang maut dan tidak bertanya-tanya dalam hati, “siapkah saya bertemu maut?”

Lalu berita bencana itu datang lagi. Gempa berskala besar menimpa Yogyakarta. Kota eksotis yang membuat saya jatuh cinta itu porak poranda. Rumah-rumah hancur, ribuan nyawa melayang dan rumah sakit penuh sesak korban luka. Ketakutan menyergap saya bersama pertanyaan; bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban? Siapkah saya bertemu maut?

Sepertinya, Allah memang sedang memperlihatkan pesan-Nya. Semburan lumpur, tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung dan musibah transfortasi menghantam bertubi-tubi. Dari menghilangnya pesawat, kapal tenggelam, kapal terbakar dan terakhir pesawat terbakar. Hampir setiap minggu saya melihat daftar nama korban meninggal dunia dalam jumlah kecil hingga besar. Dan setiap saat ketakutan itu menyergap saya diiringi pertanyaan; “sudah siapkah saya bertemu maut?”

Maut hampir setiap detik menjemput makhluk-makhluk bernyawa. Namun saya hanya sibuk bertanya-tanya; “sudah siapkah saya bertemu maut?” Sementara jawaban dari pertanyaan itu selalu sama; “saya belum siap. Saya belum punya bekal untuk mati.” Atau ketika musibah kecil menimpa saya, jauh di dalam hati saya menjerit, “ya Allah, jangan Kau ambil nyawaku sekarang, aku belum siap mati. Berilah aku waktu, aku berjanji akan memperbaiki diri.”

Setelah musibah-musibah itu berlalu, saya kembali melanjutkan hidup, mengikuti waktu yang berputar, tanpa usaha memperbaiki diri dan mengumpulkan bekal menghadapi mati.

Apakah anda juga mengalami hal sama seperti yang saya alami? Jika ya, lantas kapan sebenarnya kita bisa berkata pada diri kita sendiri; insya Allah saya siap bertemu maut.” Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Sedangkan maut akan datang kapan saja, tanpa kita bisa mengelak. Bisa lebih cepat dari yang kita duga, bisa pula lebih jauh dari yang kita sangka. Saat tidur, bekerja, bepergian atau apa saja, maut sangat dekat mengintai kita. Dan sudahkah kita menyiapkan diri? Berlomba-lomba dalam kebaikan, membenahi ibadah yang mulai kendor karena kesibukan, memperbanyak sedekah, mengamalkan ilmu yang kita miliki, mengisi sepertiga malam dengan munajat, membagi perhatian pada orang-orang yang membutuhkan dan mencuci hati yang mulai keruh karena tinta dosa. Sudahkah kita serius menyiapkan diri menghadapi mati?

Dalam sebuah hadist disebutkan, “orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati.” Dengan mengingat mati, seharusnya kita lebih serius memperbaiki diri dan menyiapkan bekal untuk kehidupan akherat. Semua pesan-Nya telah diperlihatkan kepada kita. Meski kita terbata-bata mengeja pesan itu, seharusnya kita tak hanya bisa bertanya, “kapan kita siap?” Tetapi juga harus berani menjawab, “insya Allah, sekarang saya telah mulai menyiapkan diri.”

No comments: