Saturday, May 24, 2008

EUFORIA PENERBIT & KREATIVITAS PENULIS

Dalam sebuah percakapan melalui Yahoo Messenger, saya menawarkan novel misteri thriller yang baru saja saya rampungkan. Tetapi rekan saya yang kebetulan bekerja sebagai manager sebuah penerbit besar itu mengatakan, “Sekarang yang sedang laku novel-novel romantis bersetting Timur Tengah. Kamu bikin saja novel semodel Ayat-Ayat Cinta, pasti bisa langsung kami terbitkan. Sekarang pasar sedang menginginkan itu.” Saya tercenung mendengar jawaban rekan saya itu.

Demam novel ‘Ayat-Ayat Cinta’ telah mendorong penerbit untuk bereuforia menerbitkan buku-buku romantis religius bersetting Timur Tengah. Judul dengan kata belakang cinta mulai bermunculan, bahkan nama pengarangnya pun mirip dengan nama pengarang Ayat-Ayat Cinta. Beberapa penulis menggunakan kesempatan euphoria ini untuk menerbitkan karyanya, namun beberapa penulis lain menolak.

Dalam sebuah diskusi antara penerbit dan penulis, saya terpesona oleh kritik seorang penulis kepada penerbit. Penulis yang juga seorang dosen ini berharap euphoria pasar terhadap sebuah karya tidak lantas membuat penerbit mendikte penulis untuk membuat karya-karya yang akan menjadi epigon. Itu sama artinya membunuh kreativitas penulis-penulis yang ada. Karena setiap penulis memiliki ke-khas-an karya maka seorang penulis bisa melahirkan karya yang dahsyat dengan keunikan diri penulis masing-masing.

Namun perlu diingat bahwa penerbit adalah sebuah usaha bisnis yang bisa hidup dari pasar. Jadi pasar sangat menentukan karya apa yang sebaiknya diterbitkan oleh penerbit untuk menyangga bisnis penerbitan itu tetap hidup. Hal ini kemudian menjadi dilematis karena hubungan antara penulis dan penerbit yang seharusnya menjadi simbiosis mutualisme kemudian menjadi bumerang bagi penulis karena karya-karya mereka yang melawan pasar akan tertunda penerbitannya atau bahkan tak akan terbit sama sekali.

Nah, kalau sudah begini, menurut saya kembali ke diri masing-masing penulis. Kalau memang mampu menulis dengan kualitas yang bagus dan disukai pasar, kenapa tidak dicoba? Seperti kata Remi Silado dalam sebuah wawancara, “karya sastra masa kini harus berani teruji pasar.” Namun jika tulisan itu hanya mengekor tulisan terdahulu agar laku atau terbit, sementara penulis tidak bisa mengejar kualitas, maka hanya akan menjadi sebuah pembunuhan kreativitas penulis. Sekali lagi, semua adalah pilihan dan penulis berhak memilih mana yang ingin mereka tulis. So? Mau pilih mana?

Monday, May 19, 2008

“Kapan Kamu Merasa Mulai Dewasa?”

Suatu malam saat kami duduk berhadapan di foodcourt Senayan City, tiba-tiba dia bertanya padaku, “kapan kamu merasa mulai dewasa?”

Aku tercenung sesaat dengan pertanyaan itu. Sebelumnya tidak ada yang bertanya seperti itu padaku dan aku juga tidak pernah memikirkannya. Maka dengan pikiran seorang ‘pengkhayal’ (hahaha), aku menjawab berbelit, “aku tidak bisa menasbihkan kapan diriku merasa mulai dewasa, karena bisa jadi dalam hal tertentu aku dewasa tetapi dalam hal lain aku tidak dewasa. Juga terkadang dalam pandangan temanku dewasa ternyata dalam pandangan keluargaku belum dewasa. Orang lain yang menilai aku sudah dewasa atau belum, bukan diriku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, sebenarnya batinku terkikik geli, ngeles banget! Apalagi saat dia mengangguk-angguk bingung, hihihi. Emang enak ngomong sama pengkhayal?

Hari-hari berikutnya, ajaib banget, pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku. Dan browsinglah aku dengan guide kata dewasa. Hm, dari sebuah artikel, ternyata tingkat kedewasaan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan usianya. Mereka yang lebih tua belum tentu lebih dewasa. Ada beberapa aspek yang bisa dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kedewasaan seseorang.

Intelektual
Dewasa dilihat dari kemampuan kita membentuk pendirian. Artinya, kita punya pendirian atau prinsip yang jelas sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh situasi yang menuntut kita untuk bersikap.

Emosional
Kemampuan menerima emosi dan menggunakannya secara wajar. Artinya, emosi apapun yang sedang kita alami, kita tetap bisa menguasai dan mengelolanya dengan baik.

Sosial
Dari segi social tampak dari keterbukaan terhadap orang lain. Sanggup membuat persahabatan. Tidak bergantung pada siapa pun, tapi tidak berarti kita tidak butuh orang lain.

Moral
Kesetiaan kita pada asas-asas moral dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, semakin dewasa kita semakin mementingkan orang lain dari pada diri sendiri.

Spiritual
Berkeyakinan tidak sempit. Mampu bergaul dan membina hubungan baik dengan orang-orang yang keyakinannya berbeda dari diri kita. Kita mampu menghargai orang lain tanpa batas-batas agama, ras, suku atau golongan

Kedewasaan adalah proses perkembangan kepribadian. Maka kita tidak bisa mendapatkannya dengan instant. Karena itu perlu terus belajar dan berlatih terus menerus.
Nah, kalau sudah ketemu jawabannya sekarang aku jadi bertanya pada diriku sendiri, apa aku sudah dewasa???

Sunday, May 18, 2008

“Half Light”

Selain film epik klasik dan misteri thriller, aku sangat suka film yang bercerita tentang kehidupan seorang penulis. Kebetulan yang menyenangkan, hari ini seseorang membawakan ‘HALF LIGHT’, film tahun 2006-an (kalo nggak salah) dibintangi Demi More dan juga berkisah tentang seorang novelis.

Dikisahkan, Rachel seorang penulis novel misteri yang depresi setelah kematian putranya tenggelam di danau. Rachel kemudian memutuskan menyepi di sebuah cottage pinggir laut untuk menyelesaikan novel misterinya. Di tempat terpencil yang luar biasa indah ini (hiks, aku jadi membayangkan tinggal di sana dan duduk di tempat Rachel mengetik novelnya, di dekat jendela menghadap laut, merasakan angin membelai wajah) Rachel bertemu dengan Angus McCould dan mengalirlah kisah kehidupan Rachel yang dibayangi imajinasi novel-novelnya. Rachel seperti hidup di dua dunia, antara imajinasi dan kenyataan sehingga orang-orang menganggapnya tak waras. Ternyata semua misteri itu adalah kejahatan yang dirancang suami Rachel dan sahabat Rachel untuk menguasai kekayaan Rachel.

Menonton film-film tentang kehidupan seorang penulis selalu memberi inspirasi tersendiri (buatku khususnya, hehe). Aku sering menemukan kata-kata yang membuatku tersenyum sendiri sekaligus merenung. Kayak kata-kata dalam film HALF LIGHT saat Rachel bicara dengan Angus. “Kenapa memilih hidup dalam kesendirian menulis?” Rachel menjawab, “Karena hanya dengan menulis fungsi hidup saya benar-benar berjalan.” Terus kata-kata dalam film FINDING FORESTER, film ini bercerita tentang penulis yang menyepi juga, pemainnya Sean Connery ngomong begini sama murid menulis satu-satunya, “pertama tulis konsep tulisanmu dengan hatimu kemudian tulis kembali dengan kepalamu. Faktor pertama dalam menulis adalah menulis bukan berpikir.” Film tentang penulis lainnya yang kusukai adalah SECRET WINDOW, bintangnya Johnny Deep dan diangkat dari novelnya Stephen King. Terus… BRIDGE TO TERABITHIA, THE WHOLE WIDE WORLD, FULL HOUSE (drama korea, tapi kisah penulisnya hanya lewat saja, lebih banyak kisah cintanya) dan masih banyak lagi pastinya.

Terkadang sebuah film dapat mengalirkan semangat tersendiri pada penontonnya. So? Pilihlah film yang mengalirkan energi positip, usai menontonnya. Bukankah inspirasi juga kita perlukan untuk meneruskan perjalanan panjang kehidupan?

Saturday, May 17, 2008

Final Uber Cup 2008


Sabtu, 17 Mei saya Nonton Final Uber Cup 2008 di Istora. Wah, seru juga sih melihat gegap gempita suporter Indonesia yang penuh semangat. Rasanya sudah lama banget, gak merasakan nasionalisme yang kayak gini, jadi agak merinding. Dan meski semuanya kalah, tapi suporter tetap semangat dan cinta sama pemain kesayangannya. Saya suka banget lihat permainan ganda putri Lilyana Natsir dan Vita Marissa. Mereka seru habis mainnya dan sempat menang di set kedua. Halah! Saya udah kayak pembawa acara olahraga aja ya.... :D
Meski tetap gak sesemangat zaman dulu, tapi bravo untuk tim Uber Indonesia!

Thursday, May 15, 2008

AIR YANG TUMPAH

Pagi ini terasa rusuh. Aku baru saja agak sembuh setelah terkapar sakit selama kurang lebih 15 hari dan harus mengejar deadline menulis script (baca: bisa-bisa 2x24 jam, aku tak akan punya waktu tidur). Aku sudah bersiap-siap menulis ketika tanganku menyenggol gelas berisi air putih. Air itu tumpah ke atas laptop dan membasahi sebagian meja. Aku panik. Akankah laptopku rusak? Bagaimana aku akan memenuhi target deadline jika laptopku colaps? Lalu timbul kegusaran yang kemudian membuat semua tindakan makin susah dikendalikan. Kakiku menyandung kabel lalu laptop itu hampir terseret jatuh dari meja. Jantungnya berdetak lebih kencang dan kepalanya migren dadakan. Aku berusaha mengembalikan laptop ke meja agar tak jatuh. Memandangi genangan air yang menetes dari meja, laptop yang basah dan lantai yang licin dadaku yang sakit hampir setengah bulan ini terasa lebih menyakitkan.

Terkadang, kita dihadapkan pada ketakutan-ketakutan sebelum peristiwa terjadi sehingga kita kalah sebelum berperang. Seperti kejadian yang ku alami pagi ini, begitu takutnya aku pada colapsnya laptopku (padahal belum terbukti) sehingga menyeretku pada kemarahan dan kesakitan. Mengutuk segala sesuatu yang ada di sekelilingku dan menyesali diri. Sampai kemudian emosi itu membunuh produktivitasku karena kepala yang migren membuat konsentrasiku buyar dan deadline lebih amburadul.

Sementara kalau kita mau merunut sebuah kejadian dan memahami dengan kepala dingin kita akan sampai pada pemahaman-pemahaman yang membuat kita lebih arif menyikapi sebuah peristiwa. Pernahkah kita mengambil jeda sejenak setelah kejadian tragis menimpa? Menghela nafas dan tidak menuruti aliran darah yang menderas ke kepala? Pernahkah kita berpikir kenapa hal itu menimpa kita? Gelas itu jelas sudah kulihat di sana, tetapi tetap saja tanganku menyenggolnya. Karena aku tidak berhati-hati? Karena refleks gerakan tubuhku yang panik dikejar deadline atau karena apa? Jangan-jangan tumpahan air itu isyarat agar aku menghentikan sejenak kepanikanku tentang deadline, mengingatkan aku agar beristirahat selagi sakit dan peduli pada kesehatanku.

Dan pernahkah kita merenungi sejenak kata-kata atau perbuatan seseorang yang menyinggung perasaan kita? Jika kita mau merenung setelah emosi mereda, kita akan mendapati jawaban jujur dari hati kita. Mungkin, sebagian kata-kata yang diucapkan orang itu adalah kebenaran tentang diri kita, hanya kita terlalu naïf untuk mengakuinya. Atau, pernahkah kita merenungi kenapa kaki kita yang terperosok lubang, sementara begitu banyak orang melewati jalan berlubang itu? Mungkinkah kita tengah diingatkan dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan saat kita melangkah ke suatu tempat? Banyak hal yang bisa kita renungkan, kita ambil maknanya setelah kepala menjadi lebih dingin.

Hidup adalah rangkaian kejadian berhikmah yang seharusnya membuat kita belajar menjadi lebih baik dari hari ke hari. Teman, mari kita belajar menggali hikmah dari setiap kejadian, agar kita tak selalu mengutuki diri dan mampu mensyukuri hidup. (untuk diriku yang sendiri yang tak pandai menggali hikmah dari setiap kejadian).