Wednesday, December 06, 2006

malioboro

betapa kumerindu malioboro
kala kita menyusuri kedua sisinya
mengelupas luka-luka lama
pada hati remuk redam

kisah kita sama, katamu
saling memandang, saling tersenyum
tawa kita tercecer di sepanjang trotoar
menggema hingga jantung kota

betapa kumerindu malioboro
tempat kita singgah menambatkan perahu
sebelum menemukan pelabuhan

(6.11.2006)

Monday, November 20, 2006

PUTIH ABU-ABU

Aku melihatnya kembali.
Tiga gadis berseragam abu-abu putih melintas di sepanjang sisi jalan Sukarno-Hatta. Seorang diantaranya suka mengenakan topi. Wajahnya memerah karena panas matahari. Matanya sendu, seakan meredam banyak masalah.

“Jangan terlalu kau pikirkan masalahmu,” kata si rambut lurus menghibur. “Kau datang saja ke rumahku nanti sore. Kita makan-makan.”
“Oya, benar. Aku juga akan ke rumahmu,” sahut si kacamata lebar, jago matematika. “sambil membuat PR matematika.”
Mata sendu mendesah. “Aku tak bisa.”
“Kenapa?” kedua temannya berhenti mendadak.
“Kalian sudah tahu masih bertanya. Aku tak boleh pergi sesukaku. Bisa-bisa aku…” mata sendu menghentikan kalimatnya. Ada bongkahan kaca siap meleleh dari matanya.
Kedua temannya mengangguk-angguk mengerti. Seharusnya mereka memang tak bertanya. Mereka sudah tahu bagaimana kehidupan Cinderalla ini bersama ibu tirinya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan ke rumahmu,” kata si rambut lurus.
Kacamata lebar menyahut. “Aku akan memikirkan alasan untukmu.”

Waktu yang bergerak mengikat erat persahabatan mereka. Sepanjang sisi jalan Sukarno Hatta, kebohongan-kebohongan konyol, kerikil-kerikil dalam sepatu dan masalah-masalah runyam. Bagi si mata sendu, kedua sahabatnya laksana ibu peri yang selalu menghiburnya. Namun kepahitan yang hebat, membuat si mata sendu enggan mengenang semuanya. Suatu waktu ia bertekad tidak akan pulang dan tidak akan mengingat.

Namun angin bulan November membawanya bertemu kedua sahabatnya. Banyak yang telah berubah. Namun ia masih melihat sorot mata peri di kedua mata sahabatnya.
“Kapan pangeran itu akan membawamu ke istananya, Cinderella?” tanya sahabatnya.
Si mata sendu tersenyum.

Aku melihatnya kembali.
Seorang remaja lelaki putih abu-abu. Berlari-lari menghampiri mata sendu dengan senyum malu-malu. Sebuah sepatu terulur di tangannya.
“Ini milikmu?” tanyanya.
Dan si mata sendu mengangguk, tersenyum.

Sunday, November 19, 2006

MENULIS

Setiap berkunjung ke kampung masa kecilku, selalu ada pertanyaan yang susah kujawab : “apa pekerjaanmu?”
Terkadang aku ingin menjawab ‘dokter’, tetapi takut kalau mereka datang berobat padaku. Atau ‘guru’, tetapi bagaimana kalau mereka menyuruhku mengajar? Satu kebohongan hanya akan melahirkan kebohongan-kebohongan berikutnya. Dan aku malas berkutat dalam kebohongan. Maka kurasa lebih baik aku mengaku saja, “dua tahun terakhir, aku seorang penulis lepas.”
“Apaan sih, penulis lepas?” tanya seseorang. “Bukankah memang tidak dipenjara?”

Beberapa tahun lalu ketika aku bekerja di sebuah perusahaan IT, aku juga kebingungan menjawab pertanyaan yang sama. Satu jawaban akan melahirkan seribu pertanyaan. Ujung-ujungnya seseorang menyahut, “oh, jadi pekerjaanmu menjual komputer?”
Aku terdiam saja. Kurasa ini hal terbaik ketimbang ngotot.

Beberapa profesi membuatmu bingung untuk menjelaskan deskripsi pekerjaannya kepada sebagian orang. Lalu mereka dengan enteng men-cap-mu, “bilang saja pengangguran, berbelit-belit banget jawabnya.” Atau: “ketimbang nganggur, dia menulis.”

Setiap pilihan selalu berhadapan dengan resiko. Begitu juga pilihan sebagai penulis.
Menurut Stephen King, menulis adalah pekerjaan orang kesepian. Punya seseorang yang memercayaimu dapat membuat perbedaan besar. Mereka tidak usah berkoar-koar, memercayai saja biasanya sudah cukup. Dan aku tidak hanya punya seseorang, tetapi satu keluarga. Mereka mendukungku penuh untuk berkembang. Menulis bagiku juga sebuah pencerahan di hari-hari yang suram, pertolongan di masa sulit, proses mengenali diri dan sebuah jalan untuk kembali hidup. Pendeknya, sebuah cara untuk bahagia.

seni datang dari imajinasi kreatif yang bekerja keras sambil bergembira.
- Stephen King

Friday, October 27, 2006

Mr. Right

Seorang pengarang telah mengajak saya kembali ke masa-masa SMA yang berwarna. Sebuah nostalgia yang sangat indah kurasa. Pengin ikutan nostalgia? Atau buat kalian yang masih SMU, cocok banget nih novel! Beli deh novel remaja MR. RIGHT terbitan GRASINDO, penulisnya : SONY ASGAR alias SONY HERDIANA. Asli, kamu bakal bergembira, tertawa bahagia bersama novel ini!

Dengan genre komedi, Mr. Right berkisah tentang seorang tokoh bersama Riri Gantiri yang sibuk mencari Mr.Right-nya karena sudah bosen dikejar-kejar si Oman yang suka make’ kacamata cengdem. Kita bakal diajak berkelana mengikuti kisah lucu Riri yang mencari Mr.Right-nya. Lucu, segar dan sangat menghibur!

Yakin deh! Sony Asgar dalam tulisan komedinya bisa membuat kalian tertawa terkikik-kikik sampai sakit perut tapi bahagia. Waktu tahun lalu saya dikirimi draftnya saja, sudah hampir mati ketawa. Dan teman-teman saya yang ikutan baca juga begitu. Namun jangan salah, novel ini nggak cuma bikin kalian tertawa, tetapi juga ada pesen-pesennya. Khususnya buat yang lagi nyari Mr.Right. Hahahaha!
Oke deh, selamat mencari novel bercover kuning eye chatcing-nya Mr.Right-Sony Asgar di toko buku ya! Dan…selamat bernostalgia, berlucu-lucu ria dan tertawa. Bukankah tertawa itu sehat? Pastinya…!

Cinta

Aku adalah seorang pengembara di rimba dunia yang menyimpan banyak pertanyaan tentang cinta. Setelah melewati puluhan kisah hidup yang manis, yang pahit ataupun yang masam, akhirnya kutemukan wanita itu. Dalam usia paruh baya, wajahnya masih secantik rembulan. Senyumnya selembut awan. Membuatku terpana menatapnya.
Lalu kuajukan pertanyaan-pertanyaanku kepadanya.

“Apa itu cinta?”
Ia berpikir sejenak lalu tersenyum sebelum menjawab.
“Cinta adalah sesuatu yang tidak teridentifikasi secara pasti, namun diakui eksistensinya. Al-Ghazali mengatakan cinta itu ibarat sebatang kayu yang baik. Akarnya tetap di bumi, cabangnya di langit dan buahnya lahir batin, lidah dan anggota-anggota badan. Ditunjukkan oleh pengaruh-pengaruh yang muncul dari cinta itu dalam hati dan anggota badan, seperti ditunjukkannya asap dalam api dan ditunjukkannya buah dan pohon.”

“Apa itu cinta sejati?”
“Cinta sejati hanyalah pada Rabbul Izzati. Cinta yang takkan bertempuk sebelah tangan. Namun Allah tidak egois mendominasi cinta hamba-Nya. Dia berikan kita cinta kepada anak, istri, suami, orang tua, kaum muslimin. Tapi cinta itu tentu porsinya tidak melebihi cinta kita pada Allah, karena Allah mengatakan, “Katakanlah! ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta-benda yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatiri akan merugi dan rumah tangga yang kamu senangi (manakala itu semua) lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”

“Apa kau memiliki kisah cinta yang bisa kau ceritakan padaku?”
Dan senyum wanita itu semakin terkembang. Siang menjelang sore ketika aku duduk di beranda rumahnya mendengarkan sebuah kisah. Kisah cintanya yang menawan. Aku hanyut dalam aliran cinta…