Monday, November 20, 2006

PUTIH ABU-ABU

Aku melihatnya kembali.
Tiga gadis berseragam abu-abu putih melintas di sepanjang sisi jalan Sukarno-Hatta. Seorang diantaranya suka mengenakan topi. Wajahnya memerah karena panas matahari. Matanya sendu, seakan meredam banyak masalah.

“Jangan terlalu kau pikirkan masalahmu,” kata si rambut lurus menghibur. “Kau datang saja ke rumahku nanti sore. Kita makan-makan.”
“Oya, benar. Aku juga akan ke rumahmu,” sahut si kacamata lebar, jago matematika. “sambil membuat PR matematika.”
Mata sendu mendesah. “Aku tak bisa.”
“Kenapa?” kedua temannya berhenti mendadak.
“Kalian sudah tahu masih bertanya. Aku tak boleh pergi sesukaku. Bisa-bisa aku…” mata sendu menghentikan kalimatnya. Ada bongkahan kaca siap meleleh dari matanya.
Kedua temannya mengangguk-angguk mengerti. Seharusnya mereka memang tak bertanya. Mereka sudah tahu bagaimana kehidupan Cinderalla ini bersama ibu tirinya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan ke rumahmu,” kata si rambut lurus.
Kacamata lebar menyahut. “Aku akan memikirkan alasan untukmu.”

Waktu yang bergerak mengikat erat persahabatan mereka. Sepanjang sisi jalan Sukarno Hatta, kebohongan-kebohongan konyol, kerikil-kerikil dalam sepatu dan masalah-masalah runyam. Bagi si mata sendu, kedua sahabatnya laksana ibu peri yang selalu menghiburnya. Namun kepahitan yang hebat, membuat si mata sendu enggan mengenang semuanya. Suatu waktu ia bertekad tidak akan pulang dan tidak akan mengingat.

Namun angin bulan November membawanya bertemu kedua sahabatnya. Banyak yang telah berubah. Namun ia masih melihat sorot mata peri di kedua mata sahabatnya.
“Kapan pangeran itu akan membawamu ke istananya, Cinderella?” tanya sahabatnya.
Si mata sendu tersenyum.

Aku melihatnya kembali.
Seorang remaja lelaki putih abu-abu. Berlari-lari menghampiri mata sendu dengan senyum malu-malu. Sebuah sepatu terulur di tangannya.
“Ini milikmu?” tanyanya.
Dan si mata sendu mengangguk, tersenyum.

Sunday, November 19, 2006

MENULIS

Setiap berkunjung ke kampung masa kecilku, selalu ada pertanyaan yang susah kujawab : “apa pekerjaanmu?”
Terkadang aku ingin menjawab ‘dokter’, tetapi takut kalau mereka datang berobat padaku. Atau ‘guru’, tetapi bagaimana kalau mereka menyuruhku mengajar? Satu kebohongan hanya akan melahirkan kebohongan-kebohongan berikutnya. Dan aku malas berkutat dalam kebohongan. Maka kurasa lebih baik aku mengaku saja, “dua tahun terakhir, aku seorang penulis lepas.”
“Apaan sih, penulis lepas?” tanya seseorang. “Bukankah memang tidak dipenjara?”

Beberapa tahun lalu ketika aku bekerja di sebuah perusahaan IT, aku juga kebingungan menjawab pertanyaan yang sama. Satu jawaban akan melahirkan seribu pertanyaan. Ujung-ujungnya seseorang menyahut, “oh, jadi pekerjaanmu menjual komputer?”
Aku terdiam saja. Kurasa ini hal terbaik ketimbang ngotot.

Beberapa profesi membuatmu bingung untuk menjelaskan deskripsi pekerjaannya kepada sebagian orang. Lalu mereka dengan enteng men-cap-mu, “bilang saja pengangguran, berbelit-belit banget jawabnya.” Atau: “ketimbang nganggur, dia menulis.”

Setiap pilihan selalu berhadapan dengan resiko. Begitu juga pilihan sebagai penulis.
Menurut Stephen King, menulis adalah pekerjaan orang kesepian. Punya seseorang yang memercayaimu dapat membuat perbedaan besar. Mereka tidak usah berkoar-koar, memercayai saja biasanya sudah cukup. Dan aku tidak hanya punya seseorang, tetapi satu keluarga. Mereka mendukungku penuh untuk berkembang. Menulis bagiku juga sebuah pencerahan di hari-hari yang suram, pertolongan di masa sulit, proses mengenali diri dan sebuah jalan untuk kembali hidup. Pendeknya, sebuah cara untuk bahagia.

seni datang dari imajinasi kreatif yang bekerja keras sambil bergembira.
- Stephen King