Monday, September 15, 2008

Back to Campus

Setelah bertahun-tahun menunda keinginan, akhirnya tahun ini aku back to campus. Senengnya... Punya banyak teman baru yang lucu-lucu dan kadang ngaco bikin hidup lebih hidup! Apa sih? Yang jelas jadi lebih semangat. Apalagi dengan kuliah ini aku jadi bisa menyeimbangkan antara kerja otak kanan dan otak kiriku. Kalau selama kerja aku selalu menggunakan otak kanan, maka selama kuliah aku mengasah otak kiri. Semoga ini akan menyeimbangkan otakku dan jadi lebih baik dalam bertindak. Amin.

Tuesday, September 02, 2008

"Perempuan Dalam Koin" - short story

Suara Pembaruan, Minggu 31 Agustus 2008

Aku melompat keluar dari dalam koin saat gerimis turun. Kukibaskan ujung celana panjangku yang terciprat air kubangan. Angin senja menderu menerpa wajah, dingin menggigilkan. Koin seratus rupiah keluaran tahun 1978 itu berada di ujung kakiku. Aku mengambil koin itu dan mengusap debu yang menempel di permukaannya. Kuamati gambar hutan dalam koin itu. Di sanalah aku tinggal selama empat tahun terakhir. Tempat bersembunyi yang nyaman dan aman dari serangan bayang masa lalu dan ancaman masa depan.

Kukenang pertemuanku dengan koin ini. Tak tahan dengan perihnya kesepian, malam itu aku sempoyongan keluar dari diskotek. Mabuk berat. Saat memuntahkan seluruh isi perut di halaman diskotek, tiba-tiba pandanganku yang kabur menyambar kilatan koin di samping muntahan. Aku mengambil koin itu dan keinginanku muntah teralihkan sejenak. Saat menatap gambar hutan di salah satu sisinya tiba-tiba muncul cahaya dari dalam koin. Aku terpana menatap cahaya itu dan tersedot masuk ke dalam koin. Tak memerlukan waktu lama, aku sudah berada di hutan. Rasa mualku lenyap dan aku menemukan kedamaian yang luar biasa.

Aku memutuskan tinggal di dalam hutan itu dan membangun rumah kayu. Pagi-pagi aku keluar dari koin untuk berangkat bekerja dan malam hari kembali pulang ke dalam koin. Meski sendirian, kurasa hutan ini tempat paling cocok untukku. Aroma dedaunan yang pekat dan gemericik air sungai membuat rongga dadaku melebar dan nafasku longgar. Mimpi-mimpi malamku yang menakutkan karena bayang masa lalu lenyap dan suara-suara ancaman masa depan di telingaku menjauh. Aku menyebut tempat tinggal baruku ini hutan tanpa ketakutan.

Aku tersenyum mengingat pertemuanku dengan koin ini. Beruntung aku menemukan hutan dalam koin ini, kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi pasien rumah sakit jiwa setelah perceraian itu. Kembali kuusap koin di tanganku dan kubalik perlahan. Gambar rumah gadang dengan atapnya yang menjulang singgah di mataku. Tiba-tiba aku melihat sesuatu bergerak-gerak di halaman rumah gadang itu. Aku memicingkan mata dan menemukan sesosok perempuan sedang membungkuk mengenakan sepatu. Perempuan itu bergerak mendekati mataku dan siap-siap melompat. Aku menepikan wajahku dan menunggu perempuan itu keluar dari dalam koin.

Begitu menjejakkan kaki di tanah, perempuan itu menatapku lekat. Matanya yang besar terlihat bingung sejenak lalu ia membuang pandang. Perempuan ini tidak cantik dan wajahnya cenderung sendu. Rambutnya terurai sebahu dan lingkaran hitam di bawah matanya seolah menjelaskan begitu banyak beban yang dipikulnya. Mengenakan celana jins belel dan kaus oblong ia tampak seenaknya. Ransel hitam menggantung di punggungnya dan tangan kanannya dihiasi gelang manik-manik antik. Aku menaksir perempuan ini memiliki tahun lahir tak jauh beda denganku.

"Kau tinggal di dalam koin?"
Perempuan itu mengangguk malas.
"Aku juga tinggal di dalam koin, tetapi di sebaliknya," kataku seraya membalikkan koin dan menunjukkan gambar hutan padanya.
"Kau ingin ngobrol denganku?" tanya perempuan itu sambil memeriksa jam tangannya. "Aku ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau kau ingin ngobrol, kau boleh ikut aku ke kafe."
Aku mengeryit. "Kau pelayan kafe?"

Ia menggeleng lalu berjalan meninggalkanku. Tanpa pikir panjang aku mengikuti langkahnya menyusuri trotoar. Setelah melewati deretan bangunan tua, perempuan itu berbelok ke salah satu kafe. Suasana Jakarta tempo dulu menyergapku begitu pintu kafe terbuka. Semua perabotan dan hiasan menyiratkan kehidupan zaman Belanda. Setelah memesan dua cangkir kopi dan brownies, perempuan itu membawaku ke lantai atas. Ia memilih meja pojok menghadap jendela.

"Meja ini tempat favoritku, pemandangan di jendela tampak indah," katanya sambil mengeluarkan laptop dari ransel. "Jadi sejak kapan kau tinggal di koin bergambar hutan itu?"
"Sudah empat tahun, kau sendiri?" aku balas bertanya.
Ia membuang pandang keluar jendela. "Seumur hidupku ini."
"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam koin yang sama sedangkan koin ini ada di tanganku? Bagaimana kau menemukan jalan kembali?"
Ia mengeluarkan sebuah koin dari saku celana jinsnya. "Aku juga punya koin yang sama, keluaran tahun yang sama. "
Pelayan datang mengantarkan dua cangkir kopi dan brownies. Perempuan itu kembali sibuk memencet-mencet tombol laptopnya. Wajahnya yang sendu berubah merana. Mungkin ia akan terlihat manis kalau tersenyum. Tanpa bicara padaku, ia memotong brownies dan meminum secangkir kopinya.

"Pekerjaanmu apa?" tanyaku penasaran.
"Aku seorang pendongeng."
Aku memandangnya takjub. Ia tersenyum sedikit dan aku bisa membuktikan bahwa perempuan ini cukup manis
*

Pertemuan dengan perempuan dalam koin itu kemudian menjadi agenda mingguanku. Aku sengaja keluar dari dalam koin pada hari minggu untuk ngobrol atau sekadar jalan-jalan dengannya di sebuah pusat pertokoan. Membeli barang-barang yang kami perlukan atau makan di tempat yang kami inginkan. Perlahan aku mulai menyelami pribadi dan karakternya. Ia mencintai pekerjaannya sebagai penulis dan menjelma sosok yang emosional.

"Aku ingin melihatmu tertawa," pintaku suatu siang saat kami menyusuri taman kota.
Ia memandangku jemu. "Tertawa? Apa yang harus kutertawakan?"
"Ayolah! Aku ingin melihatmu ceria, tegar, penuh semangat dan tidak ketakutan menghadapi hidup."
"Aku semangat dan tidak takut menghadapi hidup," jawabnya. Matanya menantang mataku. "Kalau aku tidak tegar, aku tidak akan bertemu denganmu. Ayahku mengkhianati ibuku lalu meninggalkan kami. Kekasihku mengkhianatiku lalu meninggalkanku. Sampai hari ini belum ada yang membuatku tertawa. Hanya tulisan- tulisanku yang mungkin akan mengantarku tertawa suatu ketika."

Aku tersentak lalu membuang muka dari sorot matanya yang membakarku. Mata itu seperti bara yang mengulitiku perlahan-lahan hingga terasa panas menyakitkan. Tiba-tiba anganku melesat ke masa silam. Mengingat seseorang yang kutinggalkan dan penyesalan yang terjadi setelahnya. Penyesalan yang membuatku memutuskan tinggal dalam koin itu. Apakah sosok mungil yang kutinggalkan itu akan seperti perempuan di depanku ini? Ataukah justru menjadi sesuatu yang lebih buruk lagi? Terkadang kita menciptakan monster- monster dalam diri orang lain tanpa kita sadari.

"Apakah kau bercita-cita menjadi lilin?" tanyanya mengagetkan lamunanku yang sekejab.
"Menjadi lilin? Maksudmu?"
Perempuan itu tersenyum sinis. "Kau selalu ingin menerangi orang lain, mendorong orang lain untuk tegar tetapi membiarkan dirimu sendiri leleh. Seharusnya kau mengubah cita-citamu."

Aku termenung. Perempuan itu memiliki intuisi yang tajam. Ia bisa membacaku. Aku memang ingin menjadi lilin bagi orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korbanku. Meneranginya, membuatnya bangkit dari trauma yang berkepanjangan, tertawa ceria namun diriku sendiri meleleh. Tidak sanggup berhadapan dengan masa lalu.
"Kau sendiri apakah punya banyak hal yang membuatmu tertawa?" tanyanya seperti tamparan di wajahku.

Aku tertawa kecil, tawa yang hambar. Sesungguhnya aku ingin mengatakan pada perempuan itu bahwa ia telah memenangi sebagian dari pertarungan hidup. Ia sanggup membuka diri di hadapan orang lain, mengakui kepedihannya, mengakui traumanya dan menerima dirinya. Sedangkan diriku, masih bersembunyi di dalam bunker. Diam-diam, aku iri pada perempuan itu.
*

Hampir sebulan aku kehilangan perempuan dalam koin itu. Mendadak hidupku sedikit runyam. Aku kehilangan teman ngobrol yang menyenangkan. Sinisme-sinismenya yang terkadang membuatku tertohok hingga sedikit marah dan dongeng-dongengnya yang menghibur.
Setiap pagi sebelum berangkat bekerja aku menunggunya di muka koin bergambar rumah gadang. Berharap ia sedang membungkuk mengenakan sepatu atau menyapu halaman rumahnya, namun ia tak kunjung muncul. Kukunjungi tempat ia menyelesaikan dongeng-dongengnya, tetapi tak kutemukan juga.

Bulan kedua, aku memberanikan diri mengusap sisi koin bergambar rumah gadang itu. Cahaya muncul dari dalam koin dan aku nekat memasuki koin itu. Setelah jatuh terpental di halaman rumah gadang, aku segera bangkit dan menyusuri undakan rumah. Kuketuk pintunya yang tertutup rapat. Setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara sandal diseret dari dalam rumah mendekati pintu.

"Oh, kau masuk ke dalam koinku?" tanyanya kaget.
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Beberapa tas bepergian berjajar di samping pintu. Bahkan ia sudah menyandang ranselnya seperti hendak bepergian.
"Kau hendak pergi?" tanyaku.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum lebar. Sesaat aku terpana menatap lekuk bibirnya yang membuatnya tampak sangat manis. Wajahnya juga terlihat cerah dan penuh semangat.
"Aku memutuskan tidak tinggal di dalam koin lagi," katanya masih tersenyum. "Dunia di luar sana terkadang memang mengerikan, tetapi aku bukan pengecut. Aku sudah siap menghadapi apapun yang sudah terjadi dan bakal terjadi. Karena itu, aku akan pergi."

Aku terhenyak. Ingin kucegah kepergiannya, tetapi bukankah menghadapi kenyataan lebih baik ketimbang bersembunyi di dalam bunker hidup seperti aku? Aku membantunya mengangkat tas bepergian dan mengantarnya keluar dari dalam koin. Ia mengulurkan tangannya padaku saat taksi tiba.

"Apakah kita tak akan bertemu lagi?" tanyaku bergetar.
Perempuan itu tertawa kecil. Tawa pertama yang pernah kudengar darinya. "Mungkin kita akan bertemu, mungkin juga tidak. Tergantung berapa lama kau sanggup keluar dari dalam koin itu dan berani menghadapi kenyataan."

Ada yang bergerak menjauh dari hatiku saat taksi meninggalkan tempatku berdiri. Kuambil koin di saku celanaku, kupandangi sejenak dan kubolak-balik perlahan. Berapa lama lagi aku akan bersembunyi di dalam koin ini? Mungkin setahun, dua tahun...
Entahlah.

Kemang, 2008
To: Irfani

Monday, September 01, 2008

Sahabat yang Tepat disaat yang Tepat

Pernah gak merenungi perjalanan hidup ini dan belajar mensyukuri bahwa segala sesuatu yang kita peroleh saat ini adalah yang terbaik untuk kita dan yang tepat untuk kita? Hm, pernah juga gak merasakan bahwa lambat laun mimpi-mimpi kita tentang suatu hal yang 'baik-baik' itu terwujud?
(Foto By : Aye)
Dan saat merenung kayak gitu, saya sering merasa betapa tidak bisa bersyukurnya saya dan betapa naifnya saya.Karena hobby melamun ( mungkin lebih baik merenung ya) aku selalu mencoba memahami bahwa apapun yang terjadi dalam hidupku adalah yang terbaik. Bahwa segala sesuatunya adalah pembelajaran. Juga pertemuanku dengan bermacam-macam orang yang selalu tak terduga.

(Foto By: Aye)
Saat aku butuh semangat, Allah mempertemukanku dengan sahabat-sahabat di Yayasan Martabat. Mereka yang hampir semuanya S2 beasiswa dari luar negeri (Belanda, Filipina, Australia) mendedikasinya diri untuk kawasan kumuh Tambora dan berusaha memajukan adik-adik yang terancam putus sekolah dengan memberi beasiswa pendidikan dan mengajar tiap hari minggu. Padahal sahabat-sahabat ini punya segudang kesibukan yang luar biasa padatnya. Subhanallah!
(Foto By: Aye)
Dari adik-adik yang hidup di rumah-rumah sempit namun semangat meraih cita-cita, dari sahabat-sahabat yang semangat membantu mereka yang kekurangan, membuat semangatku yang redup kembali menyala. Aku tiba-tiba merasa malu, betapa Allah sangat sayang pada setiap hambaNya? Saat kita membutuhkan sesuatu, maka Allah menyiapkan apa yang kita butuhkan, hanya saja kita sering terlambat menyadari. Sahabat Martabat, sahabat yang tepat di saat yang tepat.