Wednesday, December 31, 2008
Tahun Baru & Liburan
Sunday, December 28, 2008
Jogja Never Ending Story
Thursday, December 25, 2008
Sebuah Perjalanan Panjang
Sunday, December 14, 2008
B E L A J A R
Setelah empat tahun bergelut dengan lonely profesi, sekarang saya harus bertemu banyak orang, bekerja dengan banyak orang dan merangkum banyak kepala menjadi sebuah karya. Awalnya saya kesulitan dengan ini (apalagi saya terbiasa egois terhadap sebuah karya) tetapi kemudian saya belajar bahwa bertoleransi, berdiskusi dan bermufakat dengan banyak kepala akan menghasilkan karya yang lebih baik.
Bekerja kreatif bagi saya sangat menyenangkan karena hasil dari pekerjaan itu bisa dinikmati dalam bentuk riil dan dikoreksi bersama banyak orang ketika sudah menjadi tontonan. Apalagi orang-orang di dalamnya punya jiwa yang hampir sama dalam bekerja, tidak terpaku nine to five tapi bagaimana pekerjaan tersebut cepat selesai.
Dalam lingkungan baru ini saya belajar, bahwa seorang karyawan yang punya chemistry dengan pekerjaannya akan mendapatkan hasil terbaik. Saya juga belajar bahwa semua orang ingin diakui dan ingin eksis dengan caranya sendiri (baik atau buruk). Saya belajar bahwa etika yang baik, emosi yang stabil akan mengantarkan seseorang pada posisi yang mulia. Saya belajar bahwa orang yang sukses adalah orang yang selalu BELAJAR.
Dan saya belajar mempercayai seseorang, belajar mencintai seseorang dengan tulus dan menerima cinta yang tulus pula. Ehm!J.
Sunday, December 07, 2008
FFI & JIFFEST
~ Dirmawan Hatta : MAY
~ Joko Anwar / Mouly Surya : FIKSI
~ Nurman Hakim : 3 DOA 3 CINTA
~ Upi : RADIT & JANI
2. Penyutradaraan Nominasi :
~ Garin Nugroho : UNDER THE TREE
~ Mouly Surya : FIKSI
~ Rachmania Arunita : LOST IN LOVE
~ Upi : RADIT & JANI
~ Viva Westi : MAY
3. Tata Sinematografi Nominasi :
~ Ical Tanjung : MAY
~ Ical Tanjung : RADIT & JANI
~ Nayako Fionuala : THE BUTTERFLY
~ Yadi Sugandi : UNDER THE TREE
~ Yunus Pasolang : FIKSI
4. Tata Artistik Nominasi :
~ Budi Rianto : UNDER THE TREE
~ Eros Eflin : MAY
~ Eros Eflin / Vida Sylvia : FIKSI
~ Koesnadi : THE BUTTERFLY
~ T. Moty D. Setyanto : KUNTILANAK 3
5. Penyuntingan Nominasi :
~ Andhy Pulung : UNDER THE TREE
~ Muhammad Ichsan : FIKSI
~ Fastha Sunu : 3 DOA 3 CINTA
~ Wawan I. Wibowo : MAY
~ Yoga Krispatama : CLAUDIA / JASMINE
6. Tata Suara Nominasi :
~ Adityawan Susanto : UNDER THE TREE
~ Edo Sitanggang / Suhadi : RADIT & JANI
~ Khikmawan Santosa : 3 DOA 3 CINTA
~ Satrio Budiono : MAY
~ Satrio Budiono / Yusuf A. Tatawari / Aufa Ariaputra : FIKSI
7. Tata MusikNominasi :
~ Akhsan Sjuman : LOST IN LOVE
~ Anto Hoed / Melly Goeslaw : THE BUTTERFLY
~ Jaduk Ferianto : 3 DOA 3 CINTA
~ Kadek Suardhana / Wiwiek Soedarno : UNDER THE TREE
~Zeke Khaseli : FIKSI
8. Pemeran Utama Pria Nominasi :
~ Aming : DOA YANG MENGANCAM
~ Donni Alamsyah : FIKSI
~ Nicholas Saputra : 3 DOA 3 CINTA
~ Vino G Bastian : RADIT & JANI
~ Yama Carlos : MAY
9. Pemeran Utama Wanita Nominasi :
~ Ayu Laksmi : UNDER THE TREE
~ Fahrani : RADIT & JANI
~ Jeanny Chang : MAY
~ Ladya Cherryl : FIKSI
~ Fesita Pearce : LOST IN LOVE
10. Pemeran Pendukung Pria Nominasi :
~ Dwi Sasono : OTOMATIS ROMANTIS
~ Lukman Sardi : KAWIN KONTRAK
~ Oka Antara : AYAT-AYAT CINTA
~ Tio Pakusadewo : MAY
~ Yoga Pratama : 3 DOA 3 CINTA
11. Pemeran Pendukung Wanita Nominasi :
~ Ariyani Kriegenburg Willems : UNDER THE TREE
~ Ira Maya Sopha : CLAUDIA / JASMINE
~ Poppy Sovia : THE BUTTERFLY
~ Tutie Kirana : MAY
~ Tizza Radiah : CLAUDIA / JASMINE
12. Film Secara Utuh Nominasi :
~ 3 DOA 3 CINTA, produksi PT Investasi Film Indonesia dan PT TRIXIMAGE
~ CLAUDIA / JASMINE, produksi PT Nation Pictures
~ FIKSI, produksi PT SURYA INDRANTARA
~ MAY, produksi PT FLIX Pictures
~ UNDER THE TREE, produksi PT KARYA SET FILM dan PT CREDO CINE ARTS
Friday, December 05, 2008
PUING
Setelah cahaya terang itu menghisapku
Waktu menegaskan takdirku dan takdirmu
Berdentang seperti batas kematian
Tak usah kau sesali bangunan yang telah menjadi puing
Karena puing itu tak akan menjadi kenangan
: setitikpun bagiku
Sunday, November 23, 2008
HELLO FESTIVAL & GADIS BOND
Sabtu siang pas lagi bikin-bikin rencana tiba-tiba seseorang penggemar animasi mengajak lihat Hello Festival di Balai Kartini. Hm, oke juga tuh. Eh, ternyata ketemu beberapa teman kantor di sana. Meski aku bukan penggemar animasi, tapi oke juga buat nambah pengetahuan. Hanya sayangnya, kami gak bisa masuk ke dalam untuk ngelihat film-film animasi yang lagi diputar karena ruangan udah full. Kasihan deh! Trus kemana lagi nih?
Aku tiba-tiba ingat pesan sponsor and kata-kata mutiara produser di kantor agar menonton James Bond terbaru, “Quantum Solace”. Akhirnya kita ke Setiabudi untuk menemui James Bond, halah. Hm, seru sih! Craig seperti menciptakan karakter baru untuk Bond menjadi keras, kuat dan tidak plamboyan. Gadis Bond kali ini exotis banget.
Tapi aku gak pengen komentar banyak soal film itu, so..nonton aja sendiri! :P
Friday, November 21, 2008
In Your Smile
Masih segar luka hati gadis itu saat bertemu dengannya. Gayanya yang kalem, sikapnya yang tulus dan senyumnya yang menawan membuat gadis itu merasa nyaman berada disampingnya. Ngobrol dibalkon sambil memandangi kerlip lampu Jakarta, bercanda ataupun sekedar makan bareng di tempat-tempat yang berdesakan dan panas. Gadis itu diam-diam mengagumi seseorang yang tiba-tiba hadir mengisi hari-harinya, memerhatikannya tentang hal-hal kecil dan menatapnya dengan mata sayu dari kejauhan.
Banyak hal yang berubah sejak gadis itu bertemu dengannya. Kedewasaan dan ketulusan pemilik mata sayu itu membuatnya belajar tentang kebaikan, tentang cinta sejati dan tentang sepenggal kehidupan yang fana. Dan gadis itu pada akhirnya meyakini, masih ada lelaki baik di dunia ini. Yang sanggup melakukan ketulusan, kesetiaan dan kejujuran.
Dan percayakah kau, bahwa misteri yang Allah ciptakan adalah misteri terindah yang dijalani setiap makhluknya? Ya, gadis itu tak pernah menyangka bahwa setelah dipermainkan seseorang hingga terluka akan bertemu orang yang lebih baik. Bahwa Allah telah merencanakan segalanya untuk kebaikan semua hambanya.
“Aku ingin melihat senyummu setiap saat,” kata gadis itu saat mereka duduk di balkon memandangi kerlip lampu Jakarta.
“Dan aku akan selalu tersenyum padamu,” jawab lelaki itu seraya memperlihatkan senyumnya yang menawan.
Mereka saling tertawa lalu menatap masa depan yang gemerlap di kejauhan. Lampu-lampu Jakarta malam hari, semakin menawan.
Thursday, October 30, 2008
PETI AKAR
Sunday, October 26, 2008
Soulmate
Aku merasakan bertemu soulmate itu sekarang ( maksudnya soulmate pekerjaan). Bekerja di lingkungan orang-orang creative dengan ide-ide segar yang setiap menit selalu menguar (halah bahasanya keren amat!) membuat semangat selalu menyala. Menciptakan hal-hal baru yang menarik dan bertemu orang-orang baru yang selalu punya ide-ide unik kadang konyol membuatku seperti terlahir kembali. Apalagi menemukan orang yang teryata punya idealis tinggi untuk menciptakan tontonan yang bermutu. Jadi makin semangat untuk belajar dan terus belajar.
Kamu percaya nggak, kalau akhir dari setiap kesedihan selalu ada kebahagiaan di sisi yang lain? Aku sangat percaya karena sering banget mengalami itu. Setelah limbung karena something yang kalau dipikir-pikir membuatku tertawa sendiri, sekarang aku menemukan dunia baru yang so far membuatku lebih berbahagia. Ada yang bilang dunia broadcast memang dunia yang menyenangkan dan surganya orang-orang creative. Hanya saja mungkin sangat aneh bagi sebagian orang. Bayangin aja, jam kerja kami tidak menentu, kadang bisa pulang jam 3 pagi saat jelang shooting atau nggak pulang sama sekali. Bapak-bapak di kantor bilang : “kalo loe punya pacar, pasti deh diputusin. Nah, nyari aja di sini.” Hehehe. Kayaknya dari ide beginian nih yang menyebabkan cinta lokasi. Ya, gimana lagi? Kerja jungkir balik satu tim nyiapin shooting, jatuh-jatuhnya udah jadi senasib sepenanggungan kayak keluarga. Dan…apakah bakal ada cinta lokasi? Kita lihat saja setelah jeda iklan berikut ini. Wekekkekekke….
Thursday, October 09, 2008
Back to Office
Monday, September 15, 2008
Back to Campus
Tuesday, September 02, 2008
"Perempuan Dalam Koin" - short story
Kukenang pertemuanku dengan koin ini. Tak tahan dengan perihnya kesepian, malam itu aku sempoyongan keluar dari diskotek. Mabuk berat. Saat memuntahkan seluruh isi perut di halaman diskotek, tiba-tiba pandanganku yang kabur menyambar kilatan koin di samping muntahan. Aku mengambil koin itu dan keinginanku muntah teralihkan sejenak. Saat menatap gambar hutan di salah satu sisinya tiba-tiba muncul cahaya dari dalam koin. Aku terpana menatap cahaya itu dan tersedot masuk ke dalam koin. Tak memerlukan waktu lama, aku sudah berada di hutan. Rasa mualku lenyap dan aku menemukan kedamaian yang luar biasa.
Aku tersenyum mengingat pertemuanku dengan koin ini. Beruntung aku menemukan hutan dalam koin ini, kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi pasien rumah sakit jiwa setelah perceraian itu. Kembali kuusap koin di tanganku dan kubalik perlahan. Gambar rumah gadang dengan atapnya yang menjulang singgah di mataku. Tiba-tiba aku melihat sesuatu bergerak-gerak di halaman rumah gadang itu. Aku memicingkan mata dan menemukan sesosok perempuan sedang membungkuk mengenakan sepatu. Perempuan itu bergerak mendekati mataku dan siap-siap melompat. Aku menepikan wajahku dan menunggu perempuan itu keluar dari dalam koin.
"Kau tinggal di dalam koin?"
Perempuan itu mengangguk malas.
"Aku juga tinggal di dalam koin, tetapi di sebaliknya," kataku seraya membalikkan koin dan menunjukkan gambar hutan padanya.
"Kau ingin ngobrol denganku?" tanya perempuan itu sambil memeriksa jam tangannya. "Aku ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan. Kalau kau ingin ngobrol, kau boleh ikut aku ke kafe."
Aku mengeryit. "Kau pelayan kafe?"
"Sudah empat tahun, kau sendiri?" aku balas bertanya.
Ia membuang pandang keluar jendela. "Seumur hidupku ini."
"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam koin yang sama sedangkan koin ini ada di tanganku? Bagaimana kau menemukan jalan kembali?"
Ia mengeluarkan sebuah koin dari saku celana jinsnya. "Aku juga punya koin yang sama, keluaran tahun yang sama. "
Pelayan datang mengantarkan dua cangkir kopi dan brownies. Perempuan itu kembali sibuk memencet-mencet tombol laptopnya. Wajahnya yang sendu berubah merana. Mungkin ia akan terlihat manis kalau tersenyum. Tanpa bicara padaku, ia memotong brownies dan meminum secangkir kopinya.
"Pekerjaanmu apa?" tanyaku penasaran.
"Aku seorang pendongeng."
Aku memandangnya takjub. Ia tersenyum sedikit dan aku bisa membuktikan bahwa perempuan ini cukup manis
*
Pertemuan dengan perempuan dalam koin itu kemudian menjadi agenda mingguanku. Aku sengaja keluar dari dalam koin pada hari minggu untuk ngobrol atau sekadar jalan-jalan dengannya di sebuah pusat pertokoan. Membeli barang-barang yang kami perlukan atau makan di tempat yang kami inginkan. Perlahan aku mulai menyelami pribadi dan karakternya. Ia mencintai pekerjaannya sebagai penulis dan menjelma sosok yang emosional.
"Aku ingin melihatmu tertawa," pintaku suatu siang saat kami menyusuri taman kota.
Ia memandangku jemu. "Tertawa? Apa yang harus kutertawakan?"
"Ayolah! Aku ingin melihatmu ceria, tegar, penuh semangat dan tidak ketakutan menghadapi hidup."
"Aku semangat dan tidak takut menghadapi hidup," jawabnya. Matanya menantang mataku. "Kalau aku tidak tegar, aku tidak akan bertemu denganmu. Ayahku mengkhianati ibuku lalu meninggalkan kami. Kekasihku mengkhianatiku lalu meninggalkanku. Sampai hari ini belum ada yang membuatku tertawa. Hanya tulisan- tulisanku yang mungkin akan mengantarku tertawa suatu ketika."
Aku tersentak lalu membuang muka dari sorot matanya yang membakarku. Mata itu seperti bara yang mengulitiku perlahan-lahan hingga terasa panas menyakitkan. Tiba-tiba anganku melesat ke masa silam. Mengingat seseorang yang kutinggalkan dan penyesalan yang terjadi setelahnya. Penyesalan yang membuatku memutuskan tinggal dalam koin itu. Apakah sosok mungil yang kutinggalkan itu akan seperti perempuan di depanku ini? Ataukah justru menjadi sesuatu yang lebih buruk lagi? Terkadang kita menciptakan monster- monster dalam diri orang lain tanpa kita sadari.
"Apakah kau bercita-cita menjadi lilin?" tanyanya mengagetkan lamunanku yang sekejab.
"Menjadi lilin? Maksudmu?"
Perempuan itu tersenyum sinis. "Kau selalu ingin menerangi orang lain, mendorong orang lain untuk tegar tetapi membiarkan dirimu sendiri leleh. Seharusnya kau mengubah cita-citamu."
Aku termenung. Perempuan itu memiliki intuisi yang tajam. Ia bisa membacaku. Aku memang ingin menjadi lilin bagi orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korbanku. Meneranginya, membuatnya bangkit dari trauma yang berkepanjangan, tertawa ceria namun diriku sendiri meleleh. Tidak sanggup berhadapan dengan masa lalu.
"Kau sendiri apakah punya banyak hal yang membuatmu tertawa?" tanyanya seperti tamparan di wajahku.
Aku tertawa kecil, tawa yang hambar. Sesungguhnya aku ingin mengatakan pada perempuan itu bahwa ia telah memenangi sebagian dari pertarungan hidup. Ia sanggup membuka diri di hadapan orang lain, mengakui kepedihannya, mengakui traumanya dan menerima dirinya. Sedangkan diriku, masih bersembunyi di dalam bunker. Diam-diam, aku iri pada perempuan itu.
*
Hampir sebulan aku kehilangan perempuan dalam koin itu. Mendadak hidupku sedikit runyam. Aku kehilangan teman ngobrol yang menyenangkan. Sinisme-sinismenya yang terkadang membuatku tertohok hingga sedikit marah dan dongeng-dongengnya yang menghibur.
Setiap pagi sebelum berangkat bekerja aku menunggunya di muka koin bergambar rumah gadang. Berharap ia sedang membungkuk mengenakan sepatu atau menyapu halaman rumahnya, namun ia tak kunjung muncul. Kukunjungi tempat ia menyelesaikan dongeng-dongengnya, tetapi tak kutemukan juga.
Bulan kedua, aku memberanikan diri mengusap sisi koin bergambar rumah gadang itu. Cahaya muncul dari dalam koin dan aku nekat memasuki koin itu. Setelah jatuh terpental di halaman rumah gadang, aku segera bangkit dan menyusuri undakan rumah. Kuketuk pintunya yang tertutup rapat. Setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara sandal diseret dari dalam rumah mendekati pintu.
"Oh, kau masuk ke dalam koinku?" tanyanya kaget.
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah. Beberapa tas bepergian berjajar di samping pintu. Bahkan ia sudah menyandang ranselnya seperti hendak bepergian.
"Kau hendak pergi?" tanyaku.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum lebar. Sesaat aku terpana menatap lekuk bibirnya yang membuatnya tampak sangat manis. Wajahnya juga terlihat cerah dan penuh semangat.
"Aku memutuskan tidak tinggal di dalam koin lagi," katanya masih tersenyum. "Dunia di luar sana terkadang memang mengerikan, tetapi aku bukan pengecut. Aku sudah siap menghadapi apapun yang sudah terjadi dan bakal terjadi. Karena itu, aku akan pergi."
Aku terhenyak. Ingin kucegah kepergiannya, tetapi bukankah menghadapi kenyataan lebih baik ketimbang bersembunyi di dalam bunker hidup seperti aku? Aku membantunya mengangkat tas bepergian dan mengantarnya keluar dari dalam koin. Ia mengulurkan tangannya padaku saat taksi tiba.
"Apakah kita tak akan bertemu lagi?" tanyaku bergetar.
Perempuan itu tertawa kecil. Tawa pertama yang pernah kudengar darinya. "Mungkin kita akan bertemu, mungkin juga tidak. Tergantung berapa lama kau sanggup keluar dari dalam koin itu dan berani menghadapi kenyataan."
Ada yang bergerak menjauh dari hatiku saat taksi meninggalkan tempatku berdiri. Kuambil koin di saku celanaku, kupandangi sejenak dan kubolak-balik perlahan. Berapa lama lagi aku akan bersembunyi di dalam koin ini? Mungkin setahun, dua tahun...
Entahlah.
Kemang, 2008
To: Irfani
Monday, September 01, 2008
Sahabat yang Tepat disaat yang Tepat
Saturday, August 30, 2008
Sekitarku
Kalau Sabtu-Minggu habis olahraga sepeda, asyik banget sarapan di dekat bunderan trus duduk-duduk di bawah plang ini... hehehe. Nah, kalau sore-sore teduh banget, sambil bawa laptop deh, ngayal ke sana ke mari menikmati semilir angin, asyiknya...
Pokoknya dijamin asyik!
Sunday, August 17, 2008
Sisi Lain Penulis
Monday, August 11, 2008
Mimpi, Keinginan, Harapan, Realita
Kalo mimpi itu terjadi saat tidur, keinginan terjadi saat terbangun dan harapan itu lebih mendekati realisasi. Begitu gak kira-kira? Nah, kamu pernah gak memimpikan, menginginkan, mengharapkan sesuatu terlampau besar sehingga energimu habis tanpa memprediksi realita yang bakal terjadi? Kurasa banyak orang-orang seperti ini, aku juga pernah sih. Tapi kalau itu terjadi, cepat-cepatlah menyiapkan diri untuk mengantisipasi yang bakal terjadi. Kalau yang kita mimpikan, inginkan dan harapkan itu terjadi sih oke, tapi kalau nggak kan nyaho' kalau nggak siap-siap mental. Dengan persiapan, recovery kekecewaan jadi lebih cepat dan horeee! Selamat datang hari baru yang lebih menarik!
Sebut saja R, orangnya cerdas, tipe pemimpin, punya managemen yang bagus, humoris dan punya pendidikan yang bagus. Dia juga suka baca buku, malah buku Alchemisnya masih di aku, wekekeke, jadi inget gini! Oke, kembali ke topik! R cukup menyadari kemampuannya bahwa dia bisa mendapatkan hal yang lebih baik dari pekerjaannya saat itu. Maka ia menaruh harap pada suatu posisi yang menurutnya pantas ia dapatkan. Apalagi di lingkungan kerjanya nggak ada yang berada di atas level dia. Boleh dong menaruh harapan? Tetapi setelah mengikuti tes kenaikan jabatan, dia gagal. Kok bisa orang secharming R, gagal psikotes itu padahal dia merasa bisa mengerjakan semuanya? (Aku yang mengenalnya lama juga melongo). R kembali ke pekerjaannya semula dan menjalani hari-harinya dengan pikiran miskonsepsi sementara jabatan itu tetap kosong. Sampai kemudian, suatu hari R dipanggil dirut. Ngobrol-ngobrol, R di tawari promosi dengan syarat dia bisa memasukkan anak seorang petinggi di situ. Karena menurut dirut, kalau R berhasil mengubah anak petinggi itu menjadi lebih berguna, maka R bisa menghandle anak buahnya. Tibalah waktunya R mengoreksi hasil tes anak petinggi itu. Dan ternyata, dari 10 soal yang dikerjakannya hanya diisi 2 nomor, selebihnya bersih tanpa noda. Dan 2 nomor yang diisi itu, salah semua. R menggambar matahari di kertas hasil tes itu, lengkap hidung, mata dan bibir yang tersenyum kemudian menyerahkan pada HRD. Dan setelah itu R terkenang lagi akan psikotesnya, benarkah psikotes itu gagal? Lalu merenung, kalau toh lolos, apakah dia cocok berada dalam lingkungan yang kotor seperti itu? Apakah dia sanggup melihat hal-hal seperti itu?
Sahabat kedua, sebut saja A. Orangnya luar biasa pinter dan punya semangat maju yang selalu menyala. A sudah melamar ke semua program beasiswa namun selalu gagal. Suatu hari dengan lemas dia menemui seorang teman yang baru menyelesaikan program beasiswanya di Jepang. A mengeluh, kenapa kok susah banget mendapatkan beasiswa padahal sepertinya tidak ada yang kurang dalam semua tes-tes yang dilaluinya. A lupa bahwa dalam segala hal selalu terselip faktor lucky juga selain keberhasilan akademis yang dia miliki.
Dari contoh pengalaman sahabatku tadi, aku jadi mengambil kesimpulan bahwa sekeras apapun kita mengharapkan sesuatu kalau belum waktunya tiba atau belum cocok dengan kondisi kita, maka harapan itu tidak akan terwujut. Tetapi bukan berarti kita tidak berusaha lho! Berusaha adalah proses untuk mencapai hasil. Sedangkan hasilnya adalah yang terbaik untuk kita, gagal atau sukses. Orientasi kita harusnya proses bukan hasil. Karena dalam proses kita belajar banyak hal. Terkadang hasilnya kita malah diarahkan ke suatu tempat yang tidak kita inginkan sama sekali, tetapi itu justru yang terbaik dengan kondisi kita. Jadi kayaknya kita harus belajar menerima sedikit demi sedikit jika harus menghadapi kegagalan sambil merenungi bahwa inilah yang terbaik untuk kita. Dan untuk mimpi berikutnya, ayo mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, menganalisa kemampuan, upgrade kemampuan diri, insya Allah kalau sudah terpenuhi kualifikasinya, rezeki itu pasti datang pada waktunya.
Semangat yuk! Meraih mimpi? Siapa takut? :)
Sunday, August 10, 2008
Jejak Bulan
Meninggalkan buram di kedua matamu
Meski terhalang kaca mata itu
Aku bisa memandangnya
Kini mulai kutepikan siluet wajahmu
Tanpa sisa lagi di pinggir hatiku
Tak banyak yang cukup berharga
Untuk dikenang dan disimpan
Suatu ketika nanti jejak bulan itu akan menghilang
Dan aku akan menertawakan kebodohanku
Merasa kasihan dengan kepengecutanmu
Lalu semuanya berlari
Jejak bulan itu bahkan akan mati
Lihat saja!
Saturday, August 09, 2008
AMNESIA dan PURA-PURA
Saturday, August 02, 2008
TRAUMA
Setelah melawan suara-suara di kepalanya dan ketakutan yang hampir membunuhnya, ia sampai juga di rumah kos temannya. Semua berjalan normal. Anehnya sepulang dari kunjungan itu, ada separuh beban yang terangkat dari kepalanya. Ia merasa dadanya yang selalu terhimpit selama bertahu-tahun membuat rongga secara tiba-tiba hingga ia dapat bernafas lebih nyaman.
Trauma dalam bahasa Yunani berarti luka. Luka psikologi yang menggambarkan situasi atau kejadian setelah seseorang mengalami suatu kejadian yang menakutkan, menyedihkan atau mengejutkan. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda-beda menghadapi suatu kondisi traumatic, tergantung seberapa parah kejadian tersebut. Respon seseorang dalam kondisi ini umumnya ketakutan, tidak berdaya dan merasa ngeri. Juga adanya ingatan yang terus menerus terhadap kejadian yang membuat shock atau mengalami mati rasa terhadap lingkungannya. Cara seseorang menghadapi krisis tersebut, tergantung pada pengalaman dan sejarah masa lalu masing-masing. Contoh kasus di atas, ia berhasil mengurangi traumanya dengan mendatangi sumber trauma. Namun untuk peristiwa traumatic yang sangat menyakitkan ada baiknya menghubungi ahli untuk mendapatkan terapi penyembuhan.
Semua hal yang menimpa kita terjadi atas kehendak Allah, semoga kita (bisa terus belajar) selalu bersabar saat tertimpa musibah dan selalu bersyukur saat mendapatkan nikmat. Hanya Allah satu-satunya dzat yang tidak akan mengingkari janji, tidak berbohong dan tidak berkhianat. Maka hanya pada Allah-lah tempat menggantungkan harapan, bukan makhluk, bukan yang lain.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
[Al-Baqarah : 286].
Saturday, July 19, 2008
DARI SEBUAH LAUNCHING
Dua orang sahabat sedang launching buku kumpulan cerpennya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Setelah janjian sama best friend di Bakoel Coffie dan menikmati suasana Jakarta tempo dulu di kafe itu kami langsung cabut ke TIM. Wuah rame juga tuh meski aku datang lumayan telat gara-gara macet dan macet. Asyik juga nyimak diskusi bareng kritikus sastra Maman S.Mahayana dan Helvi Tiana Rosa. Selamat deh buat Wa Ode Wulan Ratna dan Noor H.Dee. Sukses terus ya!
Monday, June 09, 2008
MENUTUP SEBUAH BUKU
“Terkadang, kita harus membaca buku yang buruk untuk mengetahui buku yang bagus,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri bangku taman tempatku duduk membaca buku.
Aku tersenyum sedikit. “Aku menghargai semua buku, apapun bentuknya. Namun tokoh dalam buku ini menularkan traumatisnya padaku. Lebih baik aku menutupnya sebelum makin parah.”
“Begitukah?” Laki-laki itu balas tersenyum, meletakkan ranselnya di bangku. Rambutnya yang semi gondrong bergerai tertiup angin. Matanya menatapku lembut dari balik kacamata minus. “Mungkin tokoh dalam buku itu hanya memintamu mengerti bahwa apa yang dia alami menyakitkan. Dan bukankah sebuah buku dikatakan berhasil jika dapat mempengaruhi pembaca?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin saja, tapi tergantung pembacanya. Aku bukan pembaca yang gampang dipengaruhi. Aku membaca sambil berpikir.”
“Aku percaya. Aku mengenalmu begitu lama, juga buku-buku yang kamu baca. Jadi keputusanmu sudah bulat tidak melanjutkan buku itu?”
“Ya. Atau kau mau membacanya?” tawarku.
Laki-laki itu tertawa. “Aku tak akan membaca buku yang sudah kuketahui isinya.”
Aku bangkit dari kursi taman, menghampiri tempat sampah. Tanpa berpikir lagi, kulempar buku bercover hijau itu ke dalam tong sampah. Kulihat lelaki itu terperangah. Tetapi aku tersenyum padanya.
“Aku ingin membaca buku yang lain, yang memberiku pencerahan hidup. Bukan buku yang tidak jujur pada pembacanya dan hanya bermain kata-kata,” kataku.
Laki-laki itu mengangguk-angguk mengerti.
“Setelah satu buku ditutup, maka halaman buku yang lain menanti untuk dibuka. Selalu begitu, bukan?”
Sunday, June 01, 2008
Apa cita-citamu?
Setelah 4 tahun berteman lewat telepon dan internet akhirnya saya membuat janji ketemu Mel. Uhg, senangnya! Gimana nggak? Orang ini sepertinya agak susah ditemui karena begitu sibuknya hilir mudik ke manca negara.
Namun dari semua itu, ada satu hal yang membuatku benar-benar tertonjok. Saat forum diskusi, seorang adik Martabat bertanya pada Erol : “apa cita-citamu, Erol?” Pemuda Aussie yang lembut dan sopan ini menjawab : “saya ingin jadi muslim yang baik.”
Sebagian orang memiliki cita-cita dan menyebutkannya ketika masih kecil : ingin jadi dokter, insinyur, aktor, guru dan lain-lain tetapi jarang sekali aku mendengar seorang Islam yang kukenal mengucapkan melalui kata-kata di depan umum bahwa cita-citanya ingin menjadi seorang muslim yang baik (maaf kalau mungkin saya yang kurang gaul dalam mendengar cita-cita semua orang). Tetapi kata-kata Erol membuatku banyak merenung, juga doanya diakhir pertemuan, “semoga kita akan berkumpul lagi seperti ini di surga nanti.” Subhanallah!
(Terima kasih Mel, telah membawa saya menemukan pencerahan-pencerahan hari ini)
Saturday, May 24, 2008
EUFORIA PENERBIT & KREATIVITAS PENULIS
Dalam sebuah diskusi antara penerbit dan penulis, saya terpesona oleh kritik seorang penulis kepada penerbit. Penulis yang juga seorang dosen ini berharap euphoria pasar terhadap sebuah karya tidak lantas membuat penerbit mendikte penulis untuk membuat karya-karya yang akan menjadi epigon. Itu sama artinya membunuh kreativitas penulis-penulis yang ada. Karena setiap penulis memiliki ke-khas-an karya maka seorang penulis bisa melahirkan karya yang dahsyat dengan keunikan diri penulis masing-masing.
Namun perlu diingat bahwa penerbit adalah sebuah usaha bisnis yang bisa hidup dari pasar. Jadi pasar sangat menentukan karya apa yang sebaiknya diterbitkan oleh penerbit untuk menyangga bisnis penerbitan itu tetap hidup. Hal ini kemudian menjadi dilematis karena hubungan antara penulis dan penerbit yang seharusnya menjadi simbiosis mutualisme kemudian menjadi bumerang bagi penulis karena karya-karya mereka yang melawan pasar akan tertunda penerbitannya atau bahkan tak akan terbit sama sekali.
Nah, kalau sudah begini, menurut saya kembali ke diri masing-masing penulis. Kalau memang mampu menulis dengan kualitas yang bagus dan disukai pasar, kenapa tidak dicoba? Seperti kata Remi Silado dalam sebuah wawancara, “karya sastra masa kini harus berani teruji pasar.” Namun jika tulisan itu hanya mengekor tulisan terdahulu agar laku atau terbit, sementara penulis tidak bisa mengejar kualitas, maka hanya akan menjadi sebuah pembunuhan kreativitas penulis. Sekali lagi, semua adalah pilihan dan penulis berhak memilih mana yang ingin mereka tulis. So? Mau pilih mana?
Monday, May 19, 2008
“Kapan Kamu Merasa Mulai Dewasa?”
Aku tercenung sesaat dengan pertanyaan itu. Sebelumnya tidak ada yang bertanya seperti itu padaku dan aku juga tidak pernah memikirkannya. Maka dengan pikiran seorang ‘pengkhayal’ (hahaha), aku menjawab berbelit, “aku tidak bisa menasbihkan kapan diriku merasa mulai dewasa, karena bisa jadi dalam hal tertentu aku dewasa tetapi dalam hal lain aku tidak dewasa. Juga terkadang dalam pandangan temanku dewasa ternyata dalam pandangan keluargaku belum dewasa. Orang lain yang menilai aku sudah dewasa atau belum, bukan diriku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, sebenarnya batinku terkikik geli, ngeles banget! Apalagi saat dia mengangguk-angguk bingung, hihihi. Emang enak ngomong sama pengkhayal?
Hari-hari berikutnya, ajaib banget, pertanyaan itu terngiang-ngiang di telingaku. Dan browsinglah aku dengan guide kata dewasa. Hm, dari sebuah artikel, ternyata tingkat kedewasaan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan usianya. Mereka yang lebih tua belum tentu lebih dewasa. Ada beberapa aspek yang bisa dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kedewasaan seseorang.
Intelektual
Dewasa dilihat dari kemampuan kita membentuk pendirian. Artinya, kita punya pendirian atau prinsip yang jelas sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh situasi yang menuntut kita untuk bersikap.
Emosional
Kemampuan menerima emosi dan menggunakannya secara wajar. Artinya, emosi apapun yang sedang kita alami, kita tetap bisa menguasai dan mengelolanya dengan baik.
Sosial
Dari segi social tampak dari keterbukaan terhadap orang lain. Sanggup membuat persahabatan. Tidak bergantung pada siapa pun, tapi tidak berarti kita tidak butuh orang lain.
Moral
Kesetiaan kita pada asas-asas moral dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, semakin dewasa kita semakin mementingkan orang lain dari pada diri sendiri.
Spiritual
Berkeyakinan tidak sempit. Mampu bergaul dan membina hubungan baik dengan orang-orang yang keyakinannya berbeda dari diri kita. Kita mampu menghargai orang lain tanpa batas-batas agama, ras, suku atau golongan
Kedewasaan adalah proses perkembangan kepribadian. Maka kita tidak bisa mendapatkannya dengan instant. Karena itu perlu terus belajar dan berlatih terus menerus.
Nah, kalau sudah ketemu jawabannya sekarang aku jadi bertanya pada diriku sendiri, apa aku sudah dewasa???
Sunday, May 18, 2008
“Half Light”
Dikisahkan, Rachel seorang penulis novel misteri yang depresi setelah kematian putranya tenggelam di danau. Rachel kemudian memutuskan menyepi di sebuah cottage pinggir laut untuk menyelesaikan novel misterinya. Di tempat terpencil yang luar biasa indah ini (hiks, aku jadi membayangkan tinggal di sana dan duduk di tempat Rachel mengetik novelnya, di dekat jendela menghadap laut, merasakan angin membelai wajah) Rachel bertemu dengan Angus McCould dan mengalirlah kisah kehidupan Rachel yang dibayangi imajinasi novel-novelnya. Rachel seperti hidup di dua dunia, antara imajinasi dan kenyataan sehingga orang-orang menganggapnya tak waras. Ternyata semua misteri itu adalah kejahatan yang dirancang suami Rachel dan sahabat Rachel untuk menguasai kekayaan Rachel.
Menonton film-film tentang kehidupan seorang penulis selalu memberi inspirasi tersendiri (buatku khususnya, hehe). Aku sering menemukan kata-kata yang membuatku tersenyum sendiri sekaligus merenung. Kayak kata-kata dalam film HALF LIGHT saat Rachel bicara dengan Angus. “Kenapa memilih hidup dalam kesendirian menulis?” Rachel menjawab, “Karena hanya dengan menulis fungsi hidup saya benar-benar berjalan.” Terus kata-kata dalam film FINDING FORESTER, film ini bercerita tentang penulis yang menyepi juga, pemainnya Sean Connery ngomong begini sama murid menulis satu-satunya, “pertama tulis konsep tulisanmu dengan hatimu kemudian tulis kembali dengan kepalamu. Faktor pertama dalam menulis adalah menulis bukan berpikir.” Film tentang penulis lainnya yang kusukai adalah SECRET WINDOW, bintangnya Johnny Deep dan diangkat dari novelnya Stephen King. Terus… BRIDGE TO TERABITHIA, THE WHOLE WIDE WORLD, FULL HOUSE (drama korea, tapi kisah penulisnya hanya lewat saja, lebih banyak kisah cintanya) dan masih banyak lagi pastinya.
Terkadang sebuah film dapat mengalirkan semangat tersendiri pada penontonnya. So? Pilihlah film yang mengalirkan energi positip, usai menontonnya. Bukankah inspirasi juga kita perlukan untuk meneruskan perjalanan panjang kehidupan?
Saturday, May 17, 2008
Final Uber Cup 2008
Thursday, May 15, 2008
AIR YANG TUMPAH
Terkadang, kita dihadapkan pada ketakutan-ketakutan sebelum peristiwa terjadi sehingga kita kalah sebelum berperang. Seperti kejadian yang ku alami pagi ini, begitu takutnya aku pada colapsnya laptopku (padahal belum terbukti) sehingga menyeretku pada kemarahan dan kesakitan. Mengutuk segala sesuatu yang ada di sekelilingku dan menyesali diri. Sampai kemudian emosi itu membunuh produktivitasku karena kepala yang migren membuat konsentrasiku buyar dan deadline lebih amburadul.
Sementara kalau kita mau merunut sebuah kejadian dan memahami dengan kepala dingin kita akan sampai pada pemahaman-pemahaman yang membuat kita lebih arif menyikapi sebuah peristiwa. Pernahkah kita mengambil jeda sejenak setelah kejadian tragis menimpa? Menghela nafas dan tidak menuruti aliran darah yang menderas ke kepala? Pernahkah kita berpikir kenapa hal itu menimpa kita? Gelas itu jelas sudah kulihat di sana, tetapi tetap saja tanganku menyenggolnya. Karena aku tidak berhati-hati? Karena refleks gerakan tubuhku yang panik dikejar deadline atau karena apa? Jangan-jangan tumpahan air itu isyarat agar aku menghentikan sejenak kepanikanku tentang deadline, mengingatkan aku agar beristirahat selagi sakit dan peduli pada kesehatanku.
Dan pernahkah kita merenungi sejenak kata-kata atau perbuatan seseorang yang menyinggung perasaan kita? Jika kita mau merenung setelah emosi mereda, kita akan mendapati jawaban jujur dari hati kita. Mungkin, sebagian kata-kata yang diucapkan orang itu adalah kebenaran tentang diri kita, hanya kita terlalu naïf untuk mengakuinya. Atau, pernahkah kita merenungi kenapa kaki kita yang terperosok lubang, sementara begitu banyak orang melewati jalan berlubang itu? Mungkinkah kita tengah diingatkan dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan saat kita melangkah ke suatu tempat? Banyak hal yang bisa kita renungkan, kita ambil maknanya setelah kepala menjadi lebih dingin.
Hidup adalah rangkaian kejadian berhikmah yang seharusnya membuat kita belajar menjadi lebih baik dari hari ke hari. Teman, mari kita belajar menggali hikmah dari setiap kejadian, agar kita tak selalu mengutuki diri dan mampu mensyukuri hidup. (untuk diriku yang sendiri yang tak pandai menggali hikmah dari setiap kejadian).
Monday, April 28, 2008
The Forbidden Kingdom
Sunday, April 27, 2008
Indonesia Membaca!
Friday, April 25, 2008
Cinta
Delapan tahun yang lalu, wanita berpendidikan SD itu berusia 38 tahun. Sosoknya sedang, tawanya riang dan pembawaannya selalu senang. Klop dengan suaminya yang suka melucu. Wanita itu ibu rumah tangga dan suaminya bekerja memeriksa rel kereta api setiap malam hingga subuh. Anaknya tiga orang. Sejak kos di rumahnya, aku menjadi bagian dari keluarganya. Empat tahun aku melewati suka duka bersama keluarga ini. Setelah tidak lagi tinggal bersamanya, aku selalu menyempatkan singgah jika kebetulan ada keperluan ke kota itu. Mungkin tepatnya bukan singgah, tetapi pulang. Bapak, begitu aku memanggil suaminya, akan menjemputku dan memaksaku menginap di rumahnya. Malamnya, aku, Ibu dan dua anak gadisnya akan menggelar kasur di lantai dan tidur bersama-sama setelah makan dan lelah bercerita. Saat seperti itu, aku seakan pulang ke rumah setelah lama di rantau.
Waktu membawaku bertemu cinta yang lain. Tiga tahun yang lalu, mantan wanita karier itu berusia 65 tahun. Meskipun sudah nenek-nenek, sosoknya ideal, senyumnya lembut dan pembawaannya penuh tata karma kraton. Maklumlah, ada silsilah darah biru. Ibu, begitu aku memanggilnya, selalu mengingatkanku pada ibu kandungku. Kami melewati hari dengan banyak berbagi suka duka. Setiap tindakannya adalah pembelajaran bagiku. Aku mengaguminya. Peluk dan ciumnya selalu mengantarkan kepergianku traveling ke beberapa tempat. Air matanya menemani kesedihan-kesedihanku menghadapi masalah. Nasehat-nasehat dan supportnya membuatku bertahan dari goncangan. Ponselku berdering-dering jika kebetulan aku lupa berpamitan pergi lewat sehari. Putrinya menjadi kakak bagiku. Malam-malam ketika menikmati sinar bulan di balkon, aku sering merenung. Aku merasa dalam dekapan keluarga meskipun hidup di rantau. Tak kekurangan cinta, kasih dan sayang.
Jika saja kau mau memungutnya, begitu banyak cinta di sekeliling kita. Hanya saja kita lebih sering menutup mata, lebih suka membuka permusuhan untuk hal-hal sepele dan memasang gengsi kelewat tinggi untuk menerima ketulusan cinta. Namun jangan harap kita akan mendapatkan cinta tanpa belajar mencintai orang lain. Dan pernahkah kau membayangkan betapa menakutkan hidup tanpa cinta?
Thursday, April 24, 2008
Kenanglah
Di saat aku telah pergi
Jauh ke suatu negeri yang sunyi
Di saat kau tak dapat lagi meraih tanganku
Di saat aku menoleh tapi tak mungkin kembali
Kenanglah aku
Di saat aku tak bisa lagi dari hari ke hari
Mengungkapkan padaku masa depan yang kau rencanakan
Kau mengerti, kau hanya dapat mengenangku
Sudah terlambat untuk menyesal atau berharap
Namun andaikan kau terpaksa sesaat melupakanku
Dan kemudian kembali terkenang padaku
Jangan bersedih
Karena Jika kegelapan serta rasa dikhianati itu
Meninggalkan sesuatu yang pernah berkecamuk di hatiku
Lebih baik kau lupakan saja sambil tersenyum
Daripada kau terkenang dan merasa sedih
(dari sobekan kertas bungkus)
Monday, April 21, 2008
LA TAHZAN for broken hearted MUSLIMAH
Sunday, April 13, 2008
Tragedi dan Komedi
“Loe tahu nggak bedanya tragedy sama komedi?” Ia memulai.
Aku meletakkan tas di samping tempatku duduk lalu menatapnya. “Tragedy selalu berbau air mata, kalo komedi selalu berbau kegembiraan? Bener nggak?”
“Benar, tapi aku belajar bahwa tragedy yang terjadi terus menerus kadang menjadi komedi yang cukup menghibur,” katanya.
Lalu tawanya meledak. Beberapa orang di kafe itu menoleh ke meja kami. Aku menyodok lengannya pelan, memberinya isyarat agar mengontrol tawanya. Ia langsung mengerem tawanya saat pelayan membawa pesanan kami. Baru setelah pelayan pergi dia meneruskan tawanya sambil menekap mulutnya.
“Loe nggak lagi saraf ‘kan?” Aku membuat tanda jari miring di dahiku.
Dia berusaha menghentikan tawanya. “Gue patah hati lagi.”
“Trus di mana lucunya?” tanyaku heran. Aku mengurungkan mengiris muppin.
Dia tertawa lagi. “Sampai mana loe ngikuti kisah cinta gue?”
“Gue rasa semuanya, tapi sorry, gue nggak ingat bener.”
“Pertama, gagal karena masalah yang nggak jelas trus waktu dia balik lagi gue udah ilfell. Kedua, gagal karena dia dijodohin, ketiga gagal karena dia menipuku….nah dari sini nih mulai menarik…loe simak ya?”
Aku menghela nafas. Apa yang menarik dari sebuah kegagalan yang menyakitkan?
“Setelah penipuan ini, gue ketemu dua orang berikutnya yang juga menipuku.”
“Yang edisi terakhir, gimana ceritanya?”
“Setelah dekat beberapa bulan tiba-tiba aku pengen tahu tujuan dia menjalin hubungan denganku. Eh dia malah membalikkan pertanyaan begini, ‘kalo begitu tujuanmu berteman denganku apa?’ Hm, ternyata gue cuma teman buat dia.”
Kali ini aku yang tertawa. “Harusnya loe jawab, tujuan berteman adalah menambah teman. Bener nggak, sih?”
“Oh iya, bener! Kenapa nggak gue jawab begitu? Genius juga loe!” Tawanya meledak lagi. “Jadi dari semua kisah cinta yang terus menerus menyakitkan itu, kali ini aku benar-benar merasa geli. Gue udah nggak bisa nangis lagi dan malah merasa betapa lucunya hidup ini! Tau nggak loe? Hampir dua hari setelah itu aku suka ketawa-ketawa sendiri kalau ingat. Dan lebih lucu dengar kata-katamu barusan, tujuan berteman adalah menambah teman. Hahahaha!”
Aku menatap wajahnya. Tak kutemukan kesedihan dalam wajah melankolisnya. Dia benar-benar tertawa dari dalam lubuk hatinya.
“Sekarang gue punya kata-kata baru dalam hidup gue,”lanjutnya. “Aku ingin berdamai dengan kenyataan yang mengajarkan padaku lucunya kebenaran!”
“Good! Terkadang hidup memang perlu hal-hal kayak gitu. Yang pasti loe sudah mengambil langkah, kalo nggak loe nggak akan menemukan jalan apapun.”
Dia tertawa lagi. “Ini yang gue suka dari loe, say. Selalu mendorong orang-orang di sekitarmu untuk survive dan maju! I love you so much!”
Giliran tawaku yang meledak. Kami menikmati sore yang berwarna. Ah, bukankah semua makhluk ditakdirkan bertemu di suatu waktu lalu berpisah di waktu yang lain? Dan sebuah perjalanan panjang selalu bermula dari satu langkah. Ceile…jadi sok filosofis gara-gara habis ketemuan sama orang agak saraf. Ha ha ha!
Friday, April 04, 2008
Filosopi Bunga
Sunday, March 30, 2008
A Day With Sygma
Thursday, March 20, 2008
Merindukan Baduy
Thursday, February 28, 2008
Kau Pergi, Kau Kucari
Novel berjudul “KAU PERGI, KAU KUCARI” terbitan Grasindo, masih gress, bergenre teenlit yang kemudian menjadi lini teentulalit. Pengarangnya Sony Asgar, sobat lama yang sekarang lagi melanjutkan S2 di Brisbane. Waktu baca draftnya, novel ini lucu habis, sampai aku dan teman-teman terpingkal-pingkal.
Monday, February 18, 2008
Mengagumi Puisi Cinta Sapardi
Imlek di Klenteng Petak IX
(foto : Sutrisna Ramli)