Sunday, February 18, 2007

Bunga Senggani

Dari jendela ini aku melihat bayangan masa kecilku melintas. Bermain di halaman bersama kawan-kawan. Berbagai mainan berserakan. Balok-balok kayu, boneka, alat masak-masakan, pelepah pisang, tanah liat, daun-daunan dan berbagai jenis bunga. Sesekali ada petasan dan layang-layang jika bengalku sebagai anak perempuan kambuh.
Namun tentu saja aku lebih menyukai bunga daripada petasan. Bunga yang kusukai bernama bunga senggani. Kelopaknya kecil dan warnanya ungu. Bunga itu hanya tumbuh dilereng-lereng pegunungan. Susah ditemukan di dataran. Dan seseorang selalu membawakannya untukku.

Mbok Mis. Begitu aku memanggil wanita tua itu. Dia turun gunung setiap minggu untuk membantu pekerjaan di rumah nenek. Setiap kali datang, dia selalu menyempatkan diri menemuiku dan membawakan seikat bunga senggani. Duh, senangnya hatiku kala itu.

Suatu kali Mbok Mis menanyaiku. “ Kalau besar ingin jadi apa, Neng?”
“Jadi penari.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa menghibur banyak orang dan keliling dunia,” kataku.
Aku suka menari sejak kecil dan terobsesi keliling dunia dengan profesi itu. Mbok Mis juga sering menonton ketika aku mementaskan tari-tari klasik di berbagai tempat. Namun bersamaan waktu yang bergulir, keinginan itu berubah total. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku memilih menjadi orang merdeka dalam waktu, merdeka dengan kemauanku. Tak seorang pun tempat aku harus tunduk serta mematuhi segala macam perintah atas-atasan yang berjenjang-jenjang pangkatnya dan berlapis-lapis strukturnya. Aku akan hidup seperti air. Mengalir. Terus mengalir. Bila terbentur berbelok. Ketemu jeram terjun. Musim hujan banjir. Musim kemarau kering. Aku yakin tidak ada siapa pun, baik hartawan, birokrat atau politisi akan dapat mengecap betapa nikmatnya hidup seperti ini.

Pilihan itulah yang membawaku pulang. Meninggalkan hiruk-pikuk metropolitan dengan jamuan kesemuannya. Kini, ketika aku tegak di jendela ini, aku mengenang Mbok Mis dengan rasa merdeka. Menghadirkan sosoknya utuh. Berpinjung kain kusam, berkebaya corak memudar, rambut di gelung dan gurauannya yang membuatku terbahak. Tangan keriputnya mengulurkan seikat bunga senggani ungu indah. Aku tersenyum dan Mbok Mis mencubit pipiku. Dari ruang tengah kulihat Ibu menggeleng-geleng melihat keakrabanku dengan Mbok Mis.
Meski sosok itu telah berpulang lima belas tahun yang lalu, tapi dia tetap hidup dalam sanubariku. Kutancapkan seikat bunga senggani beserta doa setiap saat kukunjungi kuburnya. Terima kasih Mbok, kau telah membuat masa kanakku penuh tawa.




1 comment:

BLOGER SEGER said...

kalo denger nama senggani jadi pengen pulang nih, soalnya nama kampungku sengganen.