Wednesday, February 28, 2007

Biarkan Dia Pergi

Ia selalu gemetar setiap mengingat pertemuan itu. Keringat dingin mengucur dari kening dan perutnya mendadak kram. Terlintas bayangan dirinya berjalan di sepanjang trotoar, menertawakan diri sendiri lalu menepi di warung lesehan bawah jembatan layang.

“Kami hanya membunuh sepi,” pikirnya.
Ia mengenyahkan warna indah dari pertemuan itu. Ia tahu, orang yang pernah bersamanya menyusuri trotoar itu datang untuk menghidupkan kenangannya sendiri di kota itu. Bukan untuk mengenalinya, bukan untuk menemaninya, juga bukan untuk menulis kenangan baru dengannya.

Hingga suatu ketika, rasa itu datang tanpa dipinta.
Entah sudah berapa kali ia membunuh perasaannya, entah sudah berapa kali ia menghapus mimpi-mimpinya, dan entah sudah berapa kali ia berlari dari kenangan. Semua cara telah dicobanya. Dari yang biasa hingga yang paling ekstrim. Tetapi rasa tetaplah rasa. Semakin dahsyat ia menepis, semakin hebat pula rasa itu menyerangnya.

Di pulau yang lain, seseorang mungkin tak mengingat ia. Karena mungkin seseorang itu telah menciptakan kenangan-kenangan indah yang lain. Dan betapa bodohnya ia yang setia menunggu? Membiarkan dirinya terseret kenangan tanpa muara.

“Jika engkau mencintai seseorang, maka biarkan dia pergi”

1 comment:

Riana Ambarsari said...

Hi, Tary..
salam kenal :)
Aku menikmati tulisanmu. Will be checking back often, for sure..