Tuesday, November 27, 2007

Kasih Ibu

Suatu sore di sebuah koridor rumah sakit.
Belum tiba jam kunjung ketika aku menghampiri ruang tunggu. Seorang kawan dirawat karena DBD dan aku menyempatkan diri untuk menengoknya. Duduk di bangku ruang tunggu aku langsung mengeluarkan sebuah buku dan mulai membaca tanpa memedulikan orang di sekelilingku. Ini kebiasaanku yang menurut teman-teman dekatku mengesalkan. Karena kalau sudah tenggelam dalam bacaan, aku akan lupa segalanya. Namun baru membuka halaman pertama terdengar tarikan nafas berat orang yang duduk di sampingku. Aku melirik sekilas. Seorang ibu paruh baya tampak gelisah, matanya sembab dan pipinya merah seperti kebanyakan menangis.

Aku menutup bukuku dan menoleh ke arah ibu paruh baya itu. Tiba-tiba dia mengangguk padaku sambil memaksakan senyumnya.

“Menjenguk kerabat, Bu?” tanyaku basa-basi.
Ibu itu mendesah. “Sedang mengurus administrasi putriku. Baru saja meninggal.”
“Oh, maafkan saya, Bu…”
“Tidak apa-apa, Mbak.”
Aku terdiam lama, bingung menghadapi orang yang tengah berduka. Hingga ibu itu bicara lagi aku masih terdiam.
“Putriku menderita kanker darah. Sangat kesakitan,” katanya sambil menyusut air mata.
Aku memilih kata-kata yang tepat. “Kata ustad saya, sakit itu juga sebagai penggugur dosa-dosa. Semoga sakit putri ibu akan menghapuskan seluruh dosa-dosanya. Ia kembali pada Allah dalam keadaan bersih dan mendapat tempat yang baik di sisi-Nya.”
“Amin. Terima kasih, Mbak…” Ibu itu tersenyum.

Aku menghela nafas berat seraya membuat pandang ke arah bougenvil ungu di pelataran rumah sakit. Berapa banyak kerabat yang ditinggal pergi orang yang dicintainya hari ini? Lima? Sepuluh? Dua puluh? Suatu ketika nanti, aku juga akan meninggalkan atau ditinggalkan. Bukankah itu sunatullah kehidupan? Datang dan pergi sesuai waktunya. Tetapi seperti apa kondisiku pada saatnya nanti? Apakah aku akan setegar ibu itu?

“Hartaku habis, putriku juga meninggal, Mbak,” katanya lagi. Aku mendengarkan dengan saksama. “Tetapi aku lega mbak, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mengobatkan putriku. Meskipun semua terjual habis untuk biaya pengobatan, aku lega. Putriku pergi setelah usahaku benar-benar maksimal.”

Aku mengangguk sambil memandang mata ibu itu. Matanya seperti danau jernih yang membuatku berenang dalam kesejukan. Tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya dan mengajaknya ke ruang lain. Aku mempersilakan ibu itu. Dalam langkah-langkahnya menjauhi ruang tunggu, aku seperti melihat bayangan ibuku bergegas menghampiriku.
“Kalau saja bebanmu bisa beralih pada ibu, maka ibu dengan senang hati akan menanggungnya agar kau tak bersedih,” samar terdengar suara ibuku.

Buru-buru aku membaca kembali bukuku. Aku tak mau sore ini jadi melankolis.

No comments: