Wednesday, February 28, 2007

Biarkan Dia Pergi

Ia selalu gemetar setiap mengingat pertemuan itu. Keringat dingin mengucur dari kening dan perutnya mendadak kram. Terlintas bayangan dirinya berjalan di sepanjang trotoar, menertawakan diri sendiri lalu menepi di warung lesehan bawah jembatan layang.

“Kami hanya membunuh sepi,” pikirnya.
Ia mengenyahkan warna indah dari pertemuan itu. Ia tahu, orang yang pernah bersamanya menyusuri trotoar itu datang untuk menghidupkan kenangannya sendiri di kota itu. Bukan untuk mengenalinya, bukan untuk menemaninya, juga bukan untuk menulis kenangan baru dengannya.

Hingga suatu ketika, rasa itu datang tanpa dipinta.
Entah sudah berapa kali ia membunuh perasaannya, entah sudah berapa kali ia menghapus mimpi-mimpinya, dan entah sudah berapa kali ia berlari dari kenangan. Semua cara telah dicobanya. Dari yang biasa hingga yang paling ekstrim. Tetapi rasa tetaplah rasa. Semakin dahsyat ia menepis, semakin hebat pula rasa itu menyerangnya.

Di pulau yang lain, seseorang mungkin tak mengingat ia. Karena mungkin seseorang itu telah menciptakan kenangan-kenangan indah yang lain. Dan betapa bodohnya ia yang setia menunggu? Membiarkan dirinya terseret kenangan tanpa muara.

“Jika engkau mencintai seseorang, maka biarkan dia pergi”

Saturday, February 24, 2007

Dari Launching ke Launching

Acara launching buku selalu menjadi ajang menarik untuk ketemu teman-teman. Setelah beberapa lama hanya ketemu di tulisan, akhirnya bisa copy darat. Sibuk ngobrol ngalor ngidul sampai kemudian tidak mengikuti acara launching itu sendiri. Hehehe!
Itulah yang terjadi saat salah satu komunitas penulisan mengadakan launching sekaligus bazaar buku. Meski ruang tempat launching sempit, namun tak mengurangi minat teman-teman untuk meramaikan acara ini.

Dan ini dia yang ditunggu-tunggu. Seorang penulis (sahabat saya) memberikan bukunya yang baru saja dilaunching. Siapa sih, yang nggak suka buku gratis? Hihihi! Terima kasih untuk seorang lelaki yang memvonis saya sebagai ‘penulis modis’ (mo-nya dapat gratis!).
Setelah puas ngobrol sama teman-teman, menjelang senja saya pulang. Sebelum keluar ruangan seorang teman redaktur memanggil saya dan memperkenalkan dengan seorang penulis kawakan. Senangnya bisa berkenalan dengan Bapak yang sudah malang melintang di dunia cerpen Indonesia itu. Dan beliau berjanji untuk share ilmunya.

Dalam perjalanan pulang, saya menghitung launching demi launching buku yang saya hadiri. Lalu membayangkan suatu ketika buku terbaru saya dengan ‘gaya’ yang benar-benar ‘saya’ muncul di toko buku. Duh, kapan ya? Kekeke!
Pusing deh, soalnya nggak kelar-kelar!

Monday, February 19, 2007

Cinta Hakiki

Cinta adalah cinta adalah cinta adalah cinta. Itulah cinta hakiki yang terlalu sederhana jika dideskripsikan atau didefinisikan dengan bahasa manusia. Sebab ia adalah hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bebijian, memekarkan bebungaan, meranumkan bebuahan. Sebab ia adalah matahari yang menyinari bumi dan mengalirkan energinya hingga dunia mempertontonkan aneka gerak dinamis para penghuninya. Sebab ia adalah oksigen yang memenuhi paru-paru kita, ia adalah akal yang membuat kita berbeda dengan makhluk lain, ia adalah nurani yang membuat kita beradab.

Banyak orang mencari cinta, namun hanya sedikit yang mampu menggapai kehakikian. Cinta hakiki hanya dapat diselami oleh para perindu surga. Ia tak mungkin dimiliki dan dipahami oleh mereka yang hanya merindu dunia.

Siapakah dia penyelam cinta sejati? Ia adalah Rasulullah yang cintanya pada Allah membuat ia rela bersandingkan bulan dan matahari demi kejayaan dakwah. Ia yang rela tidur beralaskan pelepah kurma kasar, menggantungkan batu di perut untuk menahankan lapar dan berpeluh mengangkat karung gandum dengan bahunya sendiri demi menjadikan dirinya benderang dunia bagi sekalian makhluk. Dialah satu-satunya sosok manusia yang masih tetap lekat ingatan pada nasib umatnya meski urat-urat lehernya tengah teregang menahankan dasyatnya sakaratul maut. Ingkatkah kita padanya? Rindukah kita padanya? Cintakah kita padanya…?

Ia adalah Usman Bin Affan yang kekayaannya adalah berkah bagi kaum dhuafa. Ia yang merelakan 1000 kafilah unta penuh berisi bahan makanan dibagikan pada segenap penduduk Madinah yang membutuhkan demi memilih berniaga dengan balasan cinta hakiki. Ia adalah Abdullah bin Abbas yang muda usia namun luas ilmunya. Ia adalah Nasibah yang keperempuannya melindungi Rasulullah dalam perang Uhud. Ia adalah si gembala kecil yang membuat Umar menangis karena pertanyaannya: Fainallah…,saat diminta memerah susu kambing tanpa izin pemiliknya. Ia adalah Zainab Binti Jahsy yang keterampilannya berusaha membuat ia banyak bersedekah.

Dimanakah kini bisa kita temui sosok sosok perindu surga penyelam cinta hakiki?
Sujud-sujud panjang yang kita lakukan semoga menjelmakan kita menjadi pribadi baru yang lebih ikhlas, lebih sabar, lebih bersahaja, lebih bekerja keras, lebih bisa menghargai diri sendiri dan orang lain, lebih mudah empati, lebih bertanggungjawab, lebih bersyukur, lebih cerdas, dan tentu saja lebih ingat betapa Allah dan RasulNya amat sangat mencintai kita…

(sumber majalah Ummi)

Sunday, February 18, 2007

Bunga Senggani

Dari jendela ini aku melihat bayangan masa kecilku melintas. Bermain di halaman bersama kawan-kawan. Berbagai mainan berserakan. Balok-balok kayu, boneka, alat masak-masakan, pelepah pisang, tanah liat, daun-daunan dan berbagai jenis bunga. Sesekali ada petasan dan layang-layang jika bengalku sebagai anak perempuan kambuh.
Namun tentu saja aku lebih menyukai bunga daripada petasan. Bunga yang kusukai bernama bunga senggani. Kelopaknya kecil dan warnanya ungu. Bunga itu hanya tumbuh dilereng-lereng pegunungan. Susah ditemukan di dataran. Dan seseorang selalu membawakannya untukku.

Mbok Mis. Begitu aku memanggil wanita tua itu. Dia turun gunung setiap minggu untuk membantu pekerjaan di rumah nenek. Setiap kali datang, dia selalu menyempatkan diri menemuiku dan membawakan seikat bunga senggani. Duh, senangnya hatiku kala itu.

Suatu kali Mbok Mis menanyaiku. “ Kalau besar ingin jadi apa, Neng?”
“Jadi penari.”
“Kenapa?”
“Supaya bisa menghibur banyak orang dan keliling dunia,” kataku.
Aku suka menari sejak kecil dan terobsesi keliling dunia dengan profesi itu. Mbok Mis juga sering menonton ketika aku mementaskan tari-tari klasik di berbagai tempat. Namun bersamaan waktu yang bergulir, keinginan itu berubah total. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku memilih menjadi orang merdeka dalam waktu, merdeka dengan kemauanku. Tak seorang pun tempat aku harus tunduk serta mematuhi segala macam perintah atas-atasan yang berjenjang-jenjang pangkatnya dan berlapis-lapis strukturnya. Aku akan hidup seperti air. Mengalir. Terus mengalir. Bila terbentur berbelok. Ketemu jeram terjun. Musim hujan banjir. Musim kemarau kering. Aku yakin tidak ada siapa pun, baik hartawan, birokrat atau politisi akan dapat mengecap betapa nikmatnya hidup seperti ini.

Pilihan itulah yang membawaku pulang. Meninggalkan hiruk-pikuk metropolitan dengan jamuan kesemuannya. Kini, ketika aku tegak di jendela ini, aku mengenang Mbok Mis dengan rasa merdeka. Menghadirkan sosoknya utuh. Berpinjung kain kusam, berkebaya corak memudar, rambut di gelung dan gurauannya yang membuatku terbahak. Tangan keriputnya mengulurkan seikat bunga senggani ungu indah. Aku tersenyum dan Mbok Mis mencubit pipiku. Dari ruang tengah kulihat Ibu menggeleng-geleng melihat keakrabanku dengan Mbok Mis.
Meski sosok itu telah berpulang lima belas tahun yang lalu, tapi dia tetap hidup dalam sanubariku. Kutancapkan seikat bunga senggani beserta doa setiap saat kukunjungi kuburnya. Terima kasih Mbok, kau telah membuat masa kanakku penuh tawa.




Saturday, February 17, 2007

“Kekasih Gelap” Sanie B. Kuncoro

Adalah Senja, seorang kekasih gelap dalam kehidupan Ruben. Laki-laki memang acap memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga untuk memilih perselingkuhan sebagai jalan keluar. Dengan kenyataan itu, mampukah para kekasih gelap, khususnya perempuan, menghindar dari perasaan keperempuannya untuk mendapatkan sekaligus memilih sebuah keputusan terbaik? Lalu, ke mana seharusnya Senja melangkah?

“Kekasih Gelap” adalah buku kumpulan novelet Sanie B.Kuncoro yang diterbitkan C Publising (Bentang Pustaka). Dalam buku ini ada dua judul novelet yakni “Jalan Sunyi” dan “Kekasih Gelap”. “Kekasih Gelap” yang berjudul asli “Pilihan Senja” ini pernah menyabet juara II Lomba Cerber majalah Femina tahun 2003.

Saya mengenal nama Sanie B.Kuncoro dari fiksi-fiksi di majalah Femina. Kala itu saya hanya seorang penggemar segala macam fiksi dan belum berpikir untuk menulis. Gaya menulis Sanie romantis, lembut dan menyiratkan optimisme. Setiap membaca fiksi, saya memiliki kebiasaan untuk mencari tahu lebih detail latar belakang ‘pengarang’nya. Begitu juga dengan Sanie B. Kuncoro. Sayangnya, fiksi di majalah Femina tidak menyertakan biodata penulisnya. Dan biodata tentang Sanie B.Kuncoro saya temukan pada edisi 10 tahun Femina yang mengulas beberapa generasi penulis Femina dari zaman batu hingga zaman modern. Dalam edisi itu ada Nano Riantiarno, Ratna Indrawari Ibrahim, Marga T dan beberapa penulis era setelahnya, salah satunya Sanie B.Kuncoro.

Tahun 2003, tanpa terduga, cerpen saya yang berjudul “Rute Kasih” nampang di lembar fiksi Femina. Setelah pemunculan pertama itu, berturut-turut muncul cerpen “Tamu”, “Perempuan Senja”, “Bayang-Bayang”, “Tiga Malam di Jogja”, “Sahabat Lola” dan yang terbaru (bulan lalu) sebuah cerpen thriller berjudul “Matahariku”. Disela pemunculan cerpen-cerpen itu nampang juga cerita bersambung berjudul, “Ayah”. Seiring dengan bermunculan penulis-penulis baru, saya perhatikan, tulisan-tulisan Sanie B.Kuncoro masih terus rutin mengisi lembar fiksi Femina bahkan menyabet juara 2 Lomba Cerpen Femina 2006. Saya mengagumi produktivitas Sanie.

Desember 2006 lalu, tanpa terduga pula, saya dapat bertatap muka dengan Sanie B.Kuncoro di Surabaya. Setiap bertemu penulis yang karyanya menarik (bagi saya) adalah kepengin ngobrol dan bertanya ini itu tentang proses kreatifnya. Sebelum acara mulai, saya sudah bolak-balik bertanya kepada pemandu, “apakah Sanie sudah datang?” dan teman-teman menertawakan saya. “Penasaran amat sih, Ri?”

Begitulah. Sampai buku “Kekasih Gelap” plus tanda tangan asli penulisnya ini sampai di tangan saya, insya Allah pertemanan kami terus bergulir. Saya tersenyum membaca kata-kata di atas tanda tangan, “welcome to my imagination world.”
Terima kasih untuk kiriman buku dan waktunya berbagi ilmu penulisan :)

Wednesday, February 14, 2007

Menunggu Kereta Tiba

aku masih menunggu kereta tiba
di peron yang gemuruh
sinyal belum juga dibuka
rel terasa beku, menggigilkan tubuhku
kau yang kunanti belum datang
padahal aku sudah ingin pulang
dengan kereta penghabisan
yang datang dan pergi
tak pernah tepat waktu
(si perantau itu makin ragu
untuk sampai di rumah masalalu
sebelum ada kereta yang datang
dan melintas di rel yang lengang)
di ujung peron di sedikit
waktu yang menunggu
aku pun semakin gelisah
“dengan kereta apa
aku bisa sampai di rumah?”
hari semakin petang
sedang aku rindu sekali pulang

(sajak Isbedy Stiawan ZS dari buku LAUT AKHIR)
Senangnya, dapat kiriman buku LAUT AKHIR langsung dari penulisnya.
Terima kasih…:)

Monday, February 12, 2007

Tamu Istimewa

Malam itu rombongan tamu datang ke rumah. Kaget juga, karena nggak ngetuk pintu dulu. Menyelinap masuk begitu saja. Dini hari pula!
Dengan gaya penerima tamu yang baik, mbakku mempersilakan tamu itu duduk.
“Selamat datang, silakan masuk, silakan duduk!”



Dan nggak sampai dua jam rumah kami sudah penuh tamu. Alhasil dini hari itu semua penghuni sibuk luar biasa. Menyisihkan barang-barang untuk tempat sang tamu yang semakin pagi semakin banyak. Kami mengalah untuk ngungsi ke lantai 2. Dini hari yang heboh!

Tamu istimewa ini datang lebih banyak setelah kedatangannya tahun 2002 lalu. Saya masih ingat 5 tahun lalu naik di atap becak sepulang dari kantor dan Ibu menunggu saya dari lantai 2 rumah dengan was-was. Soalnya tamu istimewa itu memenuhi jalan menuju perumahan hingga di muka pintu rumah. Minggu ini rumah kami 4 kali kedatangan tamu istimewa. Luar biasa capek meladeni mereka. Apalagi setelah mereka pulang kami harus bersih-bersih seluruh ruang rumah yang mirip kapal pecah. Tetapi tak semua kedatangan tamu istimewa itu membuat kesedihan. Buktinya banyak orang-orang komplek yang sengaja jalan-jalan keliling sambil membawa video atau digicam (bukan wartawan lho!) tapi mereka memang pengin mengabadikan moment indah bersama tamu istimewa. Anak-anak kecil bersenang-senang main bola, perahu buatan dari galon aqua atau berenang bersama tamu istimewa. Mereka juga berteriak-teriak takjub melihat kepiting, belut, ikan masuk ke dalam rumah.



Hampir seluruh Jakarta, Februari tahun ini kedatangan tamu istimewa. Prihatin melihat tamu-tamu itu mendesak pemilik rumah kelas menengah ke bawah berpindah ke tenda-tenda pengungsian, pinggir tol bahkan pemakaman. Ternyata tamu istimewa yang menyambangi Jakarta tahun ini tak main-main. Beberapa nyawa melayang dan hilang. Tak sedikit pula warga yang tak sempat menyelamatkan harta bendanya. “Semua kembali dari nol. Tapi kami beryukur masih hidup,” kata seorang teman di Tangerang.

Malam jum’at semua penghuni rumah kecapekan bersih-bersih dan saya tak bisa memejamkan mata. Saya nonton ROAD TO di TV sambil sms beberapa teman untuk menanyakan keadaan. Jawaban mereka : “gw masih ngungsi di lantai atas, lantai bwh setinggi perut! Listrik mati!”, “gw terjebak di rumah, semua jalan keluar tertutup. Listrik dan telpon almarhum. Gw melamun sambil nonton lilin meleleh!”



Tamu lima tahunan itu memang istimewa, tapi menyengsarakan. Daripada ribut saling menyalahkan, kita mulai dari diri sendiri. Buang sampah pada tempatnya dan menjaga lingkungan masing-masing. Semoga tamu istimewa itu nggak datang-datang lagi. Soalnya, bener-bener caaapeeek deh!

Saturday, February 03, 2007

Hujan Februari

Aku mengenang hari yang sama
Ketika deras hujan memerangkap kita
Jejak empat kaki membunuh sepi
Di sepanjang trotoar Jogja

Aku mengenang hari yang sama
Ketika angin menampar wajah kita
Perahu menjauh tanpa sauh
Meninggalkan pelabuhan

Aku mengenang hari yang sama
Ketika waktu hendak menjadi abu
Cahaya matamu meredup
Lenyap bersama kabut

(01.02.07)