Sunday, April 13, 2008

Tragedi dan Komedi

Sore itu ia mengajakku bertemu di sebuah kafe favoritnya. Bibirnya seperti menahan tawa yang siap meledak hingga wajahnya terlihat aneh. Ia lalu memesankan coklat panas untukku dan sepiring kecil muppin. Aku menebak ada curhatan menarik sehingga ia meluangkan waktu untuk mengundangku.

“Loe tahu nggak bedanya tragedy sama komedi?” Ia memulai.
Aku meletakkan tas di samping tempatku duduk lalu menatapnya. “Tragedy selalu berbau air mata, kalo komedi selalu berbau kegembiraan? Bener nggak?”
“Benar, tapi aku belajar bahwa tragedy yang terjadi terus menerus kadang menjadi komedi yang cukup menghibur,” katanya.
Lalu tawanya meledak. Beberapa orang di kafe itu menoleh ke meja kami. Aku menyodok lengannya pelan, memberinya isyarat agar mengontrol tawanya. Ia langsung mengerem tawanya saat pelayan membawa pesanan kami. Baru setelah pelayan pergi dia meneruskan tawanya sambil menekap mulutnya.

“Loe nggak lagi saraf ‘kan?” Aku membuat tanda jari miring di dahiku.
Dia berusaha menghentikan tawanya. “Gue patah hati lagi.”
“Trus di mana lucunya?” tanyaku heran. Aku mengurungkan mengiris muppin.
Dia tertawa lagi. “Sampai mana loe ngikuti kisah cinta gue?”
“Gue rasa semuanya, tapi sorry, gue nggak ingat bener.”
“Pertama, gagal karena masalah yang nggak jelas trus waktu dia balik lagi gue udah ilfell. Kedua, gagal karena dia dijodohin, ketiga gagal karena dia menipuku….nah dari sini nih mulai menarik…loe simak ya?”
Aku menghela nafas. Apa yang menarik dari sebuah kegagalan yang menyakitkan?
“Setelah penipuan ini, gue ketemu dua orang berikutnya yang juga menipuku.”
“Yang edisi terakhir, gimana ceritanya?”
“Setelah dekat beberapa bulan tiba-tiba aku pengen tahu tujuan dia menjalin hubungan denganku. Eh dia malah membalikkan pertanyaan begini, ‘kalo begitu tujuanmu berteman denganku apa?’ Hm, ternyata gue cuma teman buat dia.”
Kali ini aku yang tertawa. “Harusnya loe jawab, tujuan berteman adalah menambah teman. Bener nggak, sih?”
“Oh iya, bener! Kenapa nggak gue jawab begitu? Genius juga loe!” Tawanya meledak lagi. “Jadi dari semua kisah cinta yang terus menerus menyakitkan itu, kali ini aku benar-benar merasa geli. Gue udah nggak bisa nangis lagi dan malah merasa betapa lucunya hidup ini! Tau nggak loe? Hampir dua hari setelah itu aku suka ketawa-ketawa sendiri kalau ingat. Dan lebih lucu dengar kata-katamu barusan, tujuan berteman adalah menambah teman. Hahahaha!”

Aku menatap wajahnya. Tak kutemukan kesedihan dalam wajah melankolisnya. Dia benar-benar tertawa dari dalam lubuk hatinya.
“Sekarang gue punya kata-kata baru dalam hidup gue,”lanjutnya. “Aku ingin berdamai dengan kenyataan yang mengajarkan padaku lucunya kebenaran!”
“Good! Terkadang hidup memang perlu hal-hal kayak gitu. Yang pasti loe sudah mengambil langkah, kalo nggak loe nggak akan menemukan jalan apapun.”
Dia tertawa lagi. “Ini yang gue suka dari loe, say. Selalu mendorong orang-orang di sekitarmu untuk survive dan maju! I love you so much!”

Giliran tawaku yang meledak. Kami menikmati sore yang berwarna. Ah, bukankah semua makhluk ditakdirkan bertemu di suatu waktu lalu berpisah di waktu yang lain? Dan sebuah perjalanan panjang selalu bermula dari satu langkah. Ceile…jadi sok filosofis gara-gara habis ketemuan sama orang agak saraf. Ha ha ha!







No comments: