Thursday, May 15, 2008

AIR YANG TUMPAH

Pagi ini terasa rusuh. Aku baru saja agak sembuh setelah terkapar sakit selama kurang lebih 15 hari dan harus mengejar deadline menulis script (baca: bisa-bisa 2x24 jam, aku tak akan punya waktu tidur). Aku sudah bersiap-siap menulis ketika tanganku menyenggol gelas berisi air putih. Air itu tumpah ke atas laptop dan membasahi sebagian meja. Aku panik. Akankah laptopku rusak? Bagaimana aku akan memenuhi target deadline jika laptopku colaps? Lalu timbul kegusaran yang kemudian membuat semua tindakan makin susah dikendalikan. Kakiku menyandung kabel lalu laptop itu hampir terseret jatuh dari meja. Jantungnya berdetak lebih kencang dan kepalanya migren dadakan. Aku berusaha mengembalikan laptop ke meja agar tak jatuh. Memandangi genangan air yang menetes dari meja, laptop yang basah dan lantai yang licin dadaku yang sakit hampir setengah bulan ini terasa lebih menyakitkan.

Terkadang, kita dihadapkan pada ketakutan-ketakutan sebelum peristiwa terjadi sehingga kita kalah sebelum berperang. Seperti kejadian yang ku alami pagi ini, begitu takutnya aku pada colapsnya laptopku (padahal belum terbukti) sehingga menyeretku pada kemarahan dan kesakitan. Mengutuk segala sesuatu yang ada di sekelilingku dan menyesali diri. Sampai kemudian emosi itu membunuh produktivitasku karena kepala yang migren membuat konsentrasiku buyar dan deadline lebih amburadul.

Sementara kalau kita mau merunut sebuah kejadian dan memahami dengan kepala dingin kita akan sampai pada pemahaman-pemahaman yang membuat kita lebih arif menyikapi sebuah peristiwa. Pernahkah kita mengambil jeda sejenak setelah kejadian tragis menimpa? Menghela nafas dan tidak menuruti aliran darah yang menderas ke kepala? Pernahkah kita berpikir kenapa hal itu menimpa kita? Gelas itu jelas sudah kulihat di sana, tetapi tetap saja tanganku menyenggolnya. Karena aku tidak berhati-hati? Karena refleks gerakan tubuhku yang panik dikejar deadline atau karena apa? Jangan-jangan tumpahan air itu isyarat agar aku menghentikan sejenak kepanikanku tentang deadline, mengingatkan aku agar beristirahat selagi sakit dan peduli pada kesehatanku.

Dan pernahkah kita merenungi sejenak kata-kata atau perbuatan seseorang yang menyinggung perasaan kita? Jika kita mau merenung setelah emosi mereda, kita akan mendapati jawaban jujur dari hati kita. Mungkin, sebagian kata-kata yang diucapkan orang itu adalah kebenaran tentang diri kita, hanya kita terlalu naïf untuk mengakuinya. Atau, pernahkah kita merenungi kenapa kaki kita yang terperosok lubang, sementara begitu banyak orang melewati jalan berlubang itu? Mungkinkah kita tengah diingatkan dari dosa-dosa yang pernah kita lakukan saat kita melangkah ke suatu tempat? Banyak hal yang bisa kita renungkan, kita ambil maknanya setelah kepala menjadi lebih dingin.

Hidup adalah rangkaian kejadian berhikmah yang seharusnya membuat kita belajar menjadi lebih baik dari hari ke hari. Teman, mari kita belajar menggali hikmah dari setiap kejadian, agar kita tak selalu mengutuki diri dan mampu mensyukuri hidup. (untuk diriku yang sendiri yang tak pandai menggali hikmah dari setiap kejadian).

No comments: