Tuesday, March 20, 2007

Menepi di Maribaya

Pagi baru saja mulai. Aku duduk di beranda ruang pertemuan yang tak lagi terpakai. Menikmati air yang bergerak turun menghantam bebatuan di depan, kiri, kanan dan belakangku. Terkepung air terjun, aku seperti berada di tengah-tengah pulau penuh keajaiban. Aroma tanah, pohon pinus merkusi, daun-daun jatuh, suara burung dan binatang hutan. Memenuhi kepala dengan semua suara-suara alam sungguh menakjubkan bagi orang yang terbiasa dengan suara deru kendaraan dan televisi.

“Benar-benar fresh, ya?” seorang teman menghampiriku, mengarahkan kamera digitalnya ke air terjun. Aku tersenyum, mengangguk.
“Lumayan, meski aku lebih suka hutan-hutan yang masih perawan,” kataku.
Temanku ganti mengarahkan kameranya kepadaku. “Maksud loe hutan mana?”
“Loe pernah ke hutan Baduy, kan? Gue suka karena hutannya belum tersentuh tangan manusia. Masih benar-benar perawan. Apalagi orang-orang suku sana. Luar biasa!”
Temanku tertawa. “Jangan-jangan loe naksir orang Baduy? Ha ha ha!”

Awalnya aku tak punya rencana untuk pergi ke mana-mana long week end kali ini. Lagipula aku gak merasa berhak punya long week end. He he he! Maklumlah pekerja lepas tak pernah peduli kalender hitam atau merah. Tetapi teman-teman yang berhak atas kalender merah hitam itu tiba-tiba ‘memaksa’ (pemaksaaan yang menyenangkan, hihi) ke Maribaya lihat air terjun. Kata mereka pengin mengisi kepala dengan suara-suara alam. Its okelah, akhirnya aku ikut meski badan lagi meriang belina.

Maribaya merupakan wisata air terjun yang dikelilingi hutan. Berlokasi 5km dari Lembang Bandung kami tempuh dengan bermobil hingga kawasan hutan wisata. Ada beberapa tempat menarik yang bisa dinikmati di sana; goa peninggalan Belanda, berkuda dan beberapa situs bersejarah lainnya. Lumayan menarik tempatnya, hanya sayang fasilitas-fasilitas umum kurang diperhatikan. Contohnya, rumah-rumah penginapan yang kotor dan tidak teramat. Seperti tempat wisata lainnya, kawasan ini rame pada hari minggu dan sepi pada hari-hari biasa.

Dengan oleh-oleh satu kardus kaktus, kami kembali ke Jakarta. Semoga saja tafakur alam ini menjadikan teman-teman lebih fresh saat kembali bekerja dan otakku juga lebih lancar menyelesaikan masalah tokoh-tokoh dalam ceritaku. Tetapi lebih dari sekedar itu, menepi di kawasan air terjun Maribaya, mendekatkan diri dengan alam, seharusnya membuat kami lebih mengingat keberadaan diri sebagai hamba.

“Sungguh, Tuhan-mu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya.” (QS. Al-A’raf –54)

Thursday, March 15, 2007

Ketika Ide Membeku

“Kalau orang imajinatif mendapat masalah mental, maka batas antara sesuatu yang kelihatannya ada dengan yang benar-benar ada menjadi lenyap.”

Aku tertawa miris ketika membaca kata-kata itu. Hampir tiga bulan aku tidak memiliki tulisan yang berhasil kuselesaikan dengan gembira. Semua tulisan yang kukerjakan tak menimbulkan sensasi batin tersendiri. Aku menulis, namun hanya seperti menonton tokoh-tokoh dalam cerita itu beraksi. Aku tidak terlibat dalam kisah mereka, aku tidak ada kaitannya dengan mereka dan itu sangat membosankan. Tokoh-tokoh dalam ceritaku seolah berkata, “siapa loe!? Jangan ikut campur urusan gue!” Benar-benar menyebalkan.

Sampai kemudian, aku iseng membeli novel thrillernya Stephen King yang berjudul BAG OF BONES. Dalam keadaan bosan seperti itu, biasanya aku akan tambah error kalau tidak membaca sesuatu yang inspiratif. Ternyata aku nggak salah beli tuh! Novel itu memang bener-bener inspiratif buat penulis. Karena tokoh dalam novel itu kebetulan seorang novelis best seller dunia yang mengalami kebekuan ide setelah kematian istrinya. Dan so pasti, novel thriller Stephen King selalu dibumbui adegan menyeramkan.

Dalam novel itu, jelas banget tergambar kehidupan dan proses kreatif seorang novelis best seller dunia. Bagaimana ia menemukan ide tulisannya, perlakuan agen-agen penulis terhadapnya, mengatur penerbitan bukunya, proses publikasi yang tidak disukai sang tokoh karena ketika muncul di TV pertanyaan pertamanya selalu sama, “dari mana anda mendapatkan gagasan edan itu?” Bagi sang tokoh, proses publisitas itu rasanya seperti masuk ke bar sushi dan sang pengarang menjadi sushinya.
Hehehe, aku suka sekali bagian ini!

Melalui kehidupan tokohnya juga dipaparkan kondisi pribadi seorang penulis fiksi. Seperti bagaimana ia masih saja tak menduga bisa menulis sebuah buku, kebahagiaannya bisa mendapatkan nafkah dari pekerjaan yang disukainya, 6 jam menulis setiap hari dan ketidakpercayaan sebagian orang pada apa yang dikatakan sang tokoh karena dia seorang pengarang cerita, “begitulah kalau kebanyakan menulis fiksi, kata-katanya melantur.” Dan kalimat-kalimat yang jika anda penulis fiksi akan turut merasakan, misalnya : kalau malam tiba, tokoh-tokoh dalam cerita itu hidup dan menghantui penulisnya. Atau pengarang adalah orang yang mengajar pikirannya melayang ke mana-mana.

Jika membaca novel ini berurutan dengan ON WRITING-nya Stephen King, kita akan benar-benar belajar profesionalisme seorang novelis best seller dunia. Kalau BAG OF BONES adalah versi novel dengan imajinasi seram yang mencekam, namun ON WRITING adalah memoar perjalanan menulis Stephen King sejak ia berumur 9 tahun. Melihat tahun terbitnya, buku ini sepertinya dikerjakan secara berurutan.

Mungkin penulis yang sedang mengalami kebekuan ide perlu membaca buku ini sebagai hiburan. Siapa tahu ide anda kemudian mencair? Setidaknya, sekarang, tokoh-tokoh dalam ceritaku mulai mau tersenyum, “common guys! Kita bersahabat baik, kan?”
Betapa gawatnya kalau sudah ngomong sendiri kayak gini. He he he!

Sunday, March 11, 2007

Kapan Kita "Siap"?

Suatu siang di bulan Desember 2004, saya terpana melihat layar televisi. Ribuan mayat terserak bersama bangunan-bangunan runtuh. Serambi mekah luluh lantak. Saya disergap rasa takut luar biasa ketika datang kabar, seorang teman penulis meninggal dalam bencana tsunami yang menghantam Aceh. Lalu saya bertanya-tanya, bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban meninggal dari bencana itu? Siapkan saya bertemu maut?

Seiring mengecilnya porsi pemberitaan bencana tsunami di Aceh, saya kembali melanjutkan hidup, jarang berpikir tentang maut dan tidak bertanya-tanya dalam hati, “siapkah saya bertemu maut?”

Lalu berita bencana itu datang lagi. Gempa berskala besar menimpa Yogyakarta. Kota eksotis yang membuat saya jatuh cinta itu porak poranda. Rumah-rumah hancur, ribuan nyawa melayang dan rumah sakit penuh sesak korban luka. Ketakutan menyergap saya bersama pertanyaan; bagaimana kalau saya menjadi salah satu korban? Siapkah saya bertemu maut?

Sepertinya, Allah memang sedang memperlihatkan pesan-Nya. Semburan lumpur, tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung dan musibah transfortasi menghantam bertubi-tubi. Dari menghilangnya pesawat, kapal tenggelam, kapal terbakar dan terakhir pesawat terbakar. Hampir setiap minggu saya melihat daftar nama korban meninggal dunia dalam jumlah kecil hingga besar. Dan setiap saat ketakutan itu menyergap saya diiringi pertanyaan; “sudah siapkah saya bertemu maut?”

Maut hampir setiap detik menjemput makhluk-makhluk bernyawa. Namun saya hanya sibuk bertanya-tanya; “sudah siapkah saya bertemu maut?” Sementara jawaban dari pertanyaan itu selalu sama; “saya belum siap. Saya belum punya bekal untuk mati.” Atau ketika musibah kecil menimpa saya, jauh di dalam hati saya menjerit, “ya Allah, jangan Kau ambil nyawaku sekarang, aku belum siap mati. Berilah aku waktu, aku berjanji akan memperbaiki diri.”

Setelah musibah-musibah itu berlalu, saya kembali melanjutkan hidup, mengikuti waktu yang berputar, tanpa usaha memperbaiki diri dan mengumpulkan bekal menghadapi mati.

Apakah anda juga mengalami hal sama seperti yang saya alami? Jika ya, lantas kapan sebenarnya kita bisa berkata pada diri kita sendiri; insya Allah saya siap bertemu maut.” Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Tahun depan? Sedangkan maut akan datang kapan saja, tanpa kita bisa mengelak. Bisa lebih cepat dari yang kita duga, bisa pula lebih jauh dari yang kita sangka. Saat tidur, bekerja, bepergian atau apa saja, maut sangat dekat mengintai kita. Dan sudahkah kita menyiapkan diri? Berlomba-lomba dalam kebaikan, membenahi ibadah yang mulai kendor karena kesibukan, memperbanyak sedekah, mengamalkan ilmu yang kita miliki, mengisi sepertiga malam dengan munajat, membagi perhatian pada orang-orang yang membutuhkan dan mencuci hati yang mulai keruh karena tinta dosa. Sudahkah kita serius menyiapkan diri menghadapi mati?

Dalam sebuah hadist disebutkan, “orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati.” Dengan mengingat mati, seharusnya kita lebih serius memperbaiki diri dan menyiapkan bekal untuk kehidupan akherat. Semua pesan-Nya telah diperlihatkan kepada kita. Meski kita terbata-bata mengeja pesan itu, seharusnya kita tak hanya bisa bertanya, “kapan kita siap?” Tetapi juga harus berani menjawab, “insya Allah, sekarang saya telah mulai menyiapkan diri.”

Saturday, March 03, 2007

Setelah 9 Tahun

Apa yang terasa aneh setelah 9 tahun tidak bertemu?
Aku membayangkan ia akan melupakan wajahku, kebiasaanku dan senyumku. Maka kujelaskan warna baju, rok dan kerudung yang kukenakan. Sekedar untuk mempermudah pertemuan agar tak salah orang. Sedangkan aku tetap yakin bakal bisa mengenali dirinya, meski ada juga sedikit rasa khawatir, bahwa sekarang dia berubah sedemikian rupa.

Salah satu sudut Jakarta mempertemukan kami siang itu.
“Kaukah yang ada di pojok mengenakan t’shirt merah?” tanyaku melalui handphone.
Ia berbalik dan mencariku. “Iya. Kau yang berkerudung putih, baju kotak-kotak merah?”
Aku tertawa seraya berjalan menuju meja itu.
“Astaga! Tak kusangka kita ketemu di sini, Ri! Sudah 9 tahun berlalu!” katanya.

Ia memesan sebuah menu dan kami tenggelam dalam kenangan 9 tahun lalu. Jogja pernah mempertemukan kami sebagai sepasang sahabat. Usai wisuda kami lost kontak hingga sebulan lalu ia mendapatkan nomor ponselku dari seorang teman. Mengenang betapa konyolnya masa kuliah membuat kami terpingkal-pingkal. Bertukar informasi tentang keberadaan teman-teman yang bisa terlacak membuatku berada pada masa lalu.

Ia masih yang dulu. Perhatian, penyabar, banyak tersenyum dan hm…modis!
“Kau tak banyak berubah,” kataku.
“Ah, kau juga. Lihat piringmu!” ia menunjuk piringku. “Kupikir Jakarta merubah gaya makanmu yang sedikit itu menjadi banyak!” Dia tertawa lepas.
Aku meringis. “Aku senang kau masih yang dulu.”
“Aku berubah hanya untuk hal-hal yang menjadikanku lebih baik.”
“Cieee! Sok dewasa!” ledekku mencibir.

Menjelang petang kami berpisah dengan janji tetap menjaga persahabatan. Ada yang mengalir sejuk memenuhi ruang-ruang dadaku. Sahabat yang hilang itu telah kembali. Dan benar bahwa, menjaga silaturahmi akan memperpanjang umur kita. Karena semakin banyak saudara, dunia lebih berwarna, jauh dari apatis dan hidup lebih indah.
Jadi, kenapa kita musti mencari seorang musuh jika berjuta sahabat selalu kurang?