Monday, June 09, 2008

MENUTUP SEBUAH BUKU

Aku memandang jemu buku di tanganku, lalu kututup perlahan. Namun, penasaran menghantuiku lagi. Aku membuka buku itu lagi. Membaca-baca lagi. Tapi tetap saja halaman demi halaman itu tidak memberiku sesuatu kecuali kisah traumatis yang berkembang menjadi paranoid. Dan semakin lama aku membaca buku itu aku hanya akan tertular paranoid sang tokoh yang menjalar pelan-pelan melalui rangkaian kata-kata yang masuk ke otakku.
Lalu, aku benar-benar memutuskan untuk menutup buku itu. Tidak melanjutkan membaca, bahkan kalau perlu membuangnya ke tempat sampah sekalian. Mungkin saja pemulung lebih memerlukan buku itu ketimbang aku.

“Terkadang, kita harus membaca buku yang buruk untuk mengetahui buku yang bagus,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri bangku taman tempatku duduk membaca buku.
Aku tersenyum sedikit. “Aku menghargai semua buku, apapun bentuknya. Namun tokoh dalam buku ini menularkan traumatisnya padaku. Lebih baik aku menutupnya sebelum makin parah.”
“Begitukah?” Laki-laki itu balas tersenyum, meletakkan ranselnya di bangku. Rambutnya yang semi gondrong bergerai tertiup angin. Matanya menatapku lembut dari balik kacamata minus. “Mungkin tokoh dalam buku itu hanya memintamu mengerti bahwa apa yang dia alami menyakitkan. Dan bukankah sebuah buku dikatakan berhasil jika dapat mempengaruhi pembaca?”

Aku mengangkat bahu. “Mungkin saja, tapi tergantung pembacanya. Aku bukan pembaca yang gampang dipengaruhi. Aku membaca sambil berpikir.”
“Aku percaya. Aku mengenalmu begitu lama, juga buku-buku yang kamu baca. Jadi keputusanmu sudah bulat tidak melanjutkan buku itu?”
“Ya. Atau kau mau membacanya?” tawarku.
Laki-laki itu tertawa. “Aku tak akan membaca buku yang sudah kuketahui isinya.”

Aku bangkit dari kursi taman, menghampiri tempat sampah. Tanpa berpikir lagi, kulempar buku bercover hijau itu ke dalam tong sampah. Kulihat lelaki itu terperangah. Tetapi aku tersenyum padanya.
“Aku ingin membaca buku yang lain, yang memberiku pencerahan hidup. Bukan buku yang tidak jujur pada pembacanya dan hanya bermain kata-kata,” kataku.
Laki-laki itu mengangguk-angguk mengerti.

“Setelah satu buku ditutup, maka halaman buku yang lain menanti untuk dibuka. Selalu begitu, bukan?”

Sunday, June 01, 2008

Apa cita-citamu?

Hari yang benar-benar amazing!
Setelah 4 tahun berteman lewat telepon dan internet akhirnya saya membuat janji ketemu Mel. Uhg, senangnya! Gimana nggak? Orang ini sepertinya agak susah ditemui karena begitu sibuknya hilir mudik ke manca negara.
Di sebuah mall, saya melihat senyum Mel untuk pertama kali (selain di foto-fotonya tentu saja) dan nggak tahu kenapa, saya merasa langsung nyaman. Mel mengenalkanku pada Erol (pemuda Aussie yang menyukai aktivitas-aktivitas sosial) lalu kami meluncur ke markas Martabat di Tambora bersama dua teman yang lainnya.
Bertemu dengan adik-adik di Tambora yang semangat meski berada dalam kehidupan yang serba kekurangan membuat hatiku berembun. Juga ketika keliling kawasan Tambora bersama Erol, Laura dan Yani, saya merasa betapa tidak bersyukurnya saya selama ini. Menurut survey, Tambora merupakan kawasan terpadat seasia Tenggara.

Namun dari semua itu, ada satu hal yang membuatku benar-benar tertonjok. Saat forum diskusi, seorang adik Martabat bertanya pada Erol : “apa cita-citamu, Erol?” Pemuda Aussie yang lembut dan sopan ini menjawab : “saya ingin jadi muslim yang baik.”

Sebagian orang memiliki cita-cita dan menyebutkannya ketika masih kecil : ingin jadi dokter, insinyur, aktor, guru dan lain-lain tetapi jarang sekali aku mendengar seorang Islam yang kukenal mengucapkan melalui kata-kata di depan umum bahwa cita-citanya ingin menjadi seorang muslim yang baik (maaf kalau mungkin saya yang kurang gaul dalam mendengar cita-cita semua orang). Tetapi kata-kata Erol membuatku banyak merenung, juga doanya diakhir pertemuan, “semoga kita akan berkumpul lagi seperti ini di surga nanti.” Subhanallah!

(Terima kasih Mel, telah membawa saya menemukan pencerahan-pencerahan hari ini)