Lalu, aku benar-benar memutuskan untuk menutup buku itu. Tidak melanjutkan membaca, bahkan kalau perlu membuangnya ke tempat sampah sekalian. Mungkin saja pemulung lebih memerlukan buku itu ketimbang aku.
“Terkadang, kita harus membaca buku yang buruk untuk mengetahui buku yang bagus,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri bangku taman tempatku duduk membaca buku.
Aku tersenyum sedikit. “Aku menghargai semua buku, apapun bentuknya. Namun tokoh dalam buku ini menularkan traumatisnya padaku. Lebih baik aku menutupnya sebelum makin parah.”
“Begitukah?” Laki-laki itu balas tersenyum, meletakkan ranselnya di bangku. Rambutnya yang semi gondrong bergerai tertiup angin. Matanya menatapku lembut dari balik kacamata minus. “Mungkin tokoh dalam buku itu hanya memintamu mengerti bahwa apa yang dia alami menyakitkan. Dan bukankah sebuah buku dikatakan berhasil jika dapat mempengaruhi pembaca?”
“Terkadang, kita harus membaca buku yang buruk untuk mengetahui buku yang bagus,” kata seorang lelaki yang tiba-tiba menghampiri bangku taman tempatku duduk membaca buku.
Aku tersenyum sedikit. “Aku menghargai semua buku, apapun bentuknya. Namun tokoh dalam buku ini menularkan traumatisnya padaku. Lebih baik aku menutupnya sebelum makin parah.”
“Begitukah?” Laki-laki itu balas tersenyum, meletakkan ranselnya di bangku. Rambutnya yang semi gondrong bergerai tertiup angin. Matanya menatapku lembut dari balik kacamata minus. “Mungkin tokoh dalam buku itu hanya memintamu mengerti bahwa apa yang dia alami menyakitkan. Dan bukankah sebuah buku dikatakan berhasil jika dapat mempengaruhi pembaca?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin saja, tapi tergantung pembacanya. Aku bukan pembaca yang gampang dipengaruhi. Aku membaca sambil berpikir.”
“Aku percaya. Aku mengenalmu begitu lama, juga buku-buku yang kamu baca. Jadi keputusanmu sudah bulat tidak melanjutkan buku itu?”
“Ya. Atau kau mau membacanya?” tawarku.
Laki-laki itu tertawa. “Aku tak akan membaca buku yang sudah kuketahui isinya.”
Aku bangkit dari kursi taman, menghampiri tempat sampah. Tanpa berpikir lagi, kulempar buku bercover hijau itu ke dalam tong sampah. Kulihat lelaki itu terperangah. Tetapi aku tersenyum padanya.
“Aku ingin membaca buku yang lain, yang memberiku pencerahan hidup. Bukan buku yang tidak jujur pada pembacanya dan hanya bermain kata-kata,” kataku.
Laki-laki itu mengangguk-angguk mengerti.
“Setelah satu buku ditutup, maka halaman buku yang lain menanti untuk dibuka. Selalu begitu, bukan?”
No comments:
Post a Comment