Wednesday, November 18, 2009

Sketsa Bidadari- novel terbaruku


Apakah hidup selalu menyimpan separuh misteri yang tak pernah terkatakan hingga ajal menjelang? Apakah waktu akan menjawab separuh dari misteri itu? Apakah seraut wajah yang selalu muncul pada akhir sapuan kuasnya itu bagian dari misteri hidup?

Ia terus menyapukan kuasnya tanpa henti. Sesekali bibirnya tersenyum. Seperti orang tengah kasmaran. Tapi ia tak perduli. Tangannya terus bergerak dan bergerak. Sampai sinar bulan tertutup mendung dan ia hampir menyelesaikan lukisannya.

Tepat saat azan berkumandang, ia menghentikan sapuan kuasnya. Ia terpana menatap hasil lukisannya. Gambar seorang wanita dalam ukuran setengah badan. Tanpa telaga atau pun purnama. Seraut wajah yang selalu muncul dalam lukisannya itu kini menampakkan diri lebih jelas lagi. Ia seperti baru saja melihat seraut wajah itu dalam gambar yang lain.

Perlahan dikeluarkan foto ukuran postcard dari saku celana jinsnya. Dibentangkan foto itu berjajar dengan hasil lukisannya. Dadanya berdebar kencang. Seraut wajah hasil lukisannya dan foto itu sangat mirip!!!

--------------------------
---------------------------------------------------------------------------------------------
"Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan," begitulah
kata pepatah. Ibu adalah bidadari. Beruntunglah kita yang memiliki
dan mendapatkan limpahan kasih sayang seorang Ibu. Tary, lewat
pilihan katanya yang puitis, mengajak kita memahami tentang
kehidupan lewat sosok ibu. Bacalah, kau akan semakin menyayangi
Ibu." (Gola Gong, novelis, pengelola www.golagong.com dan
www.rumahdunia.net)

“Tary sangat pandai memberi jiwa Nawangwulan dan Jaka Tarub
dalam novel ini, lalu merangkainya menjadi novel yang romantis dan menyentuh hati.”
(Agnes Jessica, novelis dan script writer)

"Lewat novel ini, Tary tidak hanya menunjukkan pembaca untuk melihat letak
kasih sayang seorang ibu, tetapi ada yang lebih penting: sekaligus belajar memaafkan
kesalahan Ibunda."
(Ratih Kumala, penulis)

"Kisah yang meramu misteri legenda, drama keluarga dan problema cinta remaja. Menyentuh."
(Hermawan Aksan, penulis novel dan cerpen, redaktur Tribun Jabar)"

-------------------------------------------------------------------------------

Teman-teman, dapatkan novel ini di toko buku terdekat mulai akhir Oktober 2009
Terimakasih supportnya ya...


Saturday, May 23, 2009

Buku Terbaruku

Akhirnya... terbit juga buku ini...
Buku kumpulan cerita rakyat dari 33 provinsi untuk anak-anak...
Dapatkan awal Juni 2009 di toko buku terdekat...


Saturday, April 11, 2009

Antara Kritik dan Belajar

Enam bulan bekerja di televisi, puluhan email protes masuk ke inbox saya. Pun sms bernada sinis yang kadang-kadang membuat saya agak tak enak hati. Tapi saya berusaha keras menganggap email dan sms itu bentuk tanda kasih sayang sahabat-sahabat pada saya. Bukankah sahabat yang baik adalah sahabat yang selalu mengingatkan saat sahabatnya hampir tergelincir? Tetapi mudah-mudahan saya tidak sedang tergelincir.

Bukan hal yang mudah memutuskan bekerja di televisi. Setelah hampir enam bulan berpikir dan melepas beberapa project freelance akhirnya saya deal menjadi karyawan televisi. Dan bermulalah kehidupan creative yang benar-benar baru dan beda bagi saya. Meski sebelumnya saya sudah menulis script di beberapa production house, namun banyak hal yang berbeda ketika saya benar-benar berada dalam sebuah system yang dikendalikan oleh rating/share. Ketika sebuah industri digerakkan oleh sekumpulan dana yang tidak sedikit, maka setiap tayangan harus memperhitungkan factor komersil, factor pengiklan. Dan saat ini ukuran itu adalah Rating/Sharenya AC Nielsen.

Dalam sebuah diskusi, seorang pembicara mengatakan bahwa tidak ada yang salah dalam setiap tayangan sinetron yang berisi pembodohan karena pada kenyataannya penonton menyukai itu. Dan sang pembicara juga mengatakan bahwa; “Jika anda tidak suka, maka matikanlah televisi dan tayangan itu akan berakhir. Karena tanpa penonton rating/share akan rendah.” Beberapa saat saya merenungi kata-kata si pembicara. Jika begitu, lalu dimana hak penonton untuk mendapatkan tayangan yang mendidik sekaligus menghibur? Mereka menonton tayangan buruk karena mereka tidak memiliki alternatif tontonan yang lain.

Sementara ketika berada dalam system kita harus berpikir bagaimana menyelamatkan sebuah program agar tetap baik-baik saja rating/sharenya (agar program itu tidak dihentikan) sekaligus berusaha keras memperjuangkan idealisme yang masih tersisa di dada orang-orang yang berada dalam program itu untuk memenuhi hak penonton.

Sebelum terjun ke system, saya juga termasuk salah satu orang yang sering menghujat televisi. Namun penghujatan saya justru menimbulkan keinginan besar untuk mengetahui yang terjadi di dalam system. Saya memutuskan untuk nyemplung, melihat bagaimana industri bergerak, belajar dan syukur-syukur berjuang sedikit untuk membuat perbandingan tayangan menjadi 1:8 (setidaknya) dalam seminggu untuk tayangan mendidik. Saya justru merasa menjadi pecundang ketika menghujat setiap menit tapi tidak berani menanggung resiko apapun untuk merubah sesuatu.

Setiap perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, termasuk menghadapi penghujatan. System televisi kita, mau tidak mau masih mengacu pada rating/share sebagai ukuran (karena belum ada ukuran lain yang lebih valid). Dan ukuran itu diperlukan dalam sebuah pencapaian. Saya berharap manusia tidak mengkultuskan ukuran itu sehingga menjadi tuhan.

Monday, March 30, 2009

CONFESSIONS of a SHOPAHOLIC (antara novel dan film)

Senyuman lelaki yang menawan membuat hati wanita meleleh, tapi senyuman itu belum mampu mengalahkan keajaiban barang-barang bermerek di butik…”

Wanita mana yang tidak suka belanja? Wanita dan belanja sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Jikapun ada wanita yang tak suka belanja, pasti prosentasenya lebih kecil ketimbang yang suka belanja. Beberapa wanita meredakan stressnya dengan belanja dan begitulah yang di lakukan Rebecca Bloomwood. Belanja dan terus belanja hingga 15 kartu kreditnya di blokir lalu dikejar-kejar debt collector. Dalam kondisi itu, majalah kebun tempat Rebecca bekerja kolaps. Bagaimana Rebecca menghadapi hutang kartu kreditnya tanpa pekerjaan? Apalagi Rebbeca belum bisa mengendalikan dirinya saat melihat sale besar-besaran di butik bermerek.

Membaca novel-novel chiclitnya SHOPIE KINSELLA selalu menyisakan semangat feminine. Semangat yang membuat pembaca wanita ceria menghadapi hidup dan segala permasalahnya. Meski dalam filmnya saya merasakan semangat itu terasa samar dan lebih terfokus pada kisah romantis Rebecca- Brandon, namun beberapa hal justru membuat film ini lebih logis ketimbang novelnya. Ketika bahasa tulisan menjadi bahasa gambar, tentu membutuhkan beberapa benang cerita yang membuat penonton lebih gampang mencerna cerita dengan mata. Dan dalam filmnya, Confession of Sophaholic menggunakan Selendang Hijau sebagai benang merah cerita. Beberapa hal juga muncul dalam filmnya seperti karakter Brandon yang dalam novelnya sangat arogan tetapi dalam filmnya, Brandon justru muncul sebagai sosok cool yang punya karakter kuat. Brandon yang tidak mau bergantung pada merek terkenal (meski ia putra seorang pesohor di dunia mode) berhasil menyuntikkan sindiran yang telak pada orang-orang yang mengupgrade kepercayaan dirinya menggunakan merek-merek terkenal.

Jika sebuah novel menjadi film, maka akan ada pertanyaan; bagus mana antara novel dan filmnya? Ketika bahasa tulisan menjadi bahasa visual maka akan berbeda penyampaiannya pada penikmat. Pertanyaan yang lebih pas mungkin, apakah bahasa visual ini berhasil menggambarkan novel secara keseluruhan?

Nah, silakan menonton dulu baru berpendapat!

Sunday, January 11, 2009

Pengagum Rahasia

Sejak kuliah aku mengagumi seseorang, maka bisa disebut aku pengagum rahasia. Dia adalah penulis cerpen kawakan "Jujur Prananto". Kala itu aku yang memang hobby menulis, sering tercenung-cenung setiap usai membaca cerpen Mas Jujur. Rasanya entah kapan aku bisa menulis seperti itu, dan memeng belum kesampaian. Karya-karya Mas Jujur aku kliping dan setiap buku kumpulan cerpennya terbit aku selalu mengoleksi.
Tahun berganti dan sebagai pengagum, aku selalu mengikuti berita tentang Mas Jujur. Beliau kemudian juga menulis skenario film seperti "Ada apa dengan cinta", "Petualangan Sherina," "Ungu Violet", "Doa yang mengancam" dan beberapa yang lain. Meski aku seperti kehilangan cerpen-cerpennya, namun kemudian aku jadi terseret mengikuti skenario-skenarionya. Aku juga mengoleksi buku-buku skenario Mas Jujur. Hingga suatu waktu dari millis para penulis skenario aku memberanikan diri mengirim email ke beliau. Awalnya hanya ingin berkenalan sebagai fans berat sejak lama, namun perkenalan itu kemudian menjadi seperti sekolahan bagiku. Aku belajar menulis secara tidak langsung. Sikapnya yang tegas dan to the point dalam email membuatku sering bertanya, seperti apa sih Mas Jujur itu?
Dan kesempatan membawaku bertemu beliau. Beliau berkenan menulis FTV di televisi swasta tempat aku bekerja dan kami bertemu di sana. Subhanallah, aku tak henti belajar dari sebelum ketemu hingga sekarang bertatap muka dengan beliau. Orang yang memiliki nama besar dan semakin berisi semakin menunduk, itulah Mas Jujur. Aku tak lagi menjadi pengagum rahasianya, tetapi benar-benar pengagum terang-terangan sekarang. Subhanallah...seandainya dunia ini dipenuhi orang-orang rendah hati seperti beliau...
"Mas Jujur, terima kasih mengajari saya banyak hal."

Wednesday, December 31, 2008

Tahun Baru & Liburan

Sebenarnya hanya pengen menikmati liburan dan nggak terlalu exited dengan acara pergantian tahun. Tapi karena berada di kota yang full dikunjungi orang untuk merayakan pergantian tahun, mau tak mau pengen juga melihat. Jadi selama hidup ini, halah! Baru dua kali aku melihat perayaan tahun baru. Zaman SMA dulu dan tahun ini.
Mengikuti arus manusia yang berdesak-desakan ke pusat kota aku jadi bertanya-tanya, "mau ngapain sih, nih?" Tapi aku mencoba menetralisir kekesalanku dengan berpikir bahwa orang-orang butuh pelepasan selama setahun sehingga mereka butuh satu event yang membuat mereka bisa bersenang-senang sedikit. Jadi its okelah....
Tapi...tetep aja aku lebih suka bersama teman-teman kecilku di suatu kawasan kumuh itu ketimbang berdesakan disini, hiks!

Sunday, December 28, 2008

Jogja Never Ending Story


Aku masih duduk termangu di bangku penunggu Stasiun Tugu saat pengamen melagukan Yogyakarta-nya Kla Project. "Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..."

Selalu begitu. Setiap kembali ke Jogja, aku merasa pulang ke pelukan masa lalu yang nyaman dan aman. Setelah letih memburu mimpi di Jakarta, aku selalu merindukan pulang ke Jogja, meski Jogga bukan tanah kelahiranku. Banyak hal yang tertinggal di sana, tentang jejak masa lalu, tentang kisah yang belum selesai dan tentang angan-angan yang terentang panjang. Aku tak bisa membandingkan Jogja dengan kota manapun, karena setiap saat aku berjanji untuk kembali, ke Jogja.

Setelah tiga tahun tak kembali, akhir tahun ini aku menyempatkan pulang ke Jogja. Banyak yang berubah pasca gempa dan tsunami. Parangtritis gersang dan pucat, jalanan Malioboro banyak tergilas bangunan-bangunan modern dan aku tak merasakan exotisme Jogja yang dulu. Tapi Jogja selalu menyuguhkan cerita bagiku. Kisahku satu persatu selalu berkaitan dengan Jogja, dari yang a hingga z. Tetapi sampai kapan Jogja hanya menjadi setting dalam semua cerita pribadiku? Saat menunggu kereta di Stasiun Tugu aku bertanya, mungkinkah Jogja akan menjadi sesuatu yang pasti dalam hidupku? Bukan hanya setting tanpa tokoh utama.