Saturday, April 11, 2009

Antara Kritik dan Belajar

Enam bulan bekerja di televisi, puluhan email protes masuk ke inbox saya. Pun sms bernada sinis yang kadang-kadang membuat saya agak tak enak hati. Tapi saya berusaha keras menganggap email dan sms itu bentuk tanda kasih sayang sahabat-sahabat pada saya. Bukankah sahabat yang baik adalah sahabat yang selalu mengingatkan saat sahabatnya hampir tergelincir? Tetapi mudah-mudahan saya tidak sedang tergelincir.

Bukan hal yang mudah memutuskan bekerja di televisi. Setelah hampir enam bulan berpikir dan melepas beberapa project freelance akhirnya saya deal menjadi karyawan televisi. Dan bermulalah kehidupan creative yang benar-benar baru dan beda bagi saya. Meski sebelumnya saya sudah menulis script di beberapa production house, namun banyak hal yang berbeda ketika saya benar-benar berada dalam sebuah system yang dikendalikan oleh rating/share. Ketika sebuah industri digerakkan oleh sekumpulan dana yang tidak sedikit, maka setiap tayangan harus memperhitungkan factor komersil, factor pengiklan. Dan saat ini ukuran itu adalah Rating/Sharenya AC Nielsen.

Dalam sebuah diskusi, seorang pembicara mengatakan bahwa tidak ada yang salah dalam setiap tayangan sinetron yang berisi pembodohan karena pada kenyataannya penonton menyukai itu. Dan sang pembicara juga mengatakan bahwa; “Jika anda tidak suka, maka matikanlah televisi dan tayangan itu akan berakhir. Karena tanpa penonton rating/share akan rendah.” Beberapa saat saya merenungi kata-kata si pembicara. Jika begitu, lalu dimana hak penonton untuk mendapatkan tayangan yang mendidik sekaligus menghibur? Mereka menonton tayangan buruk karena mereka tidak memiliki alternatif tontonan yang lain.

Sementara ketika berada dalam system kita harus berpikir bagaimana menyelamatkan sebuah program agar tetap baik-baik saja rating/sharenya (agar program itu tidak dihentikan) sekaligus berusaha keras memperjuangkan idealisme yang masih tersisa di dada orang-orang yang berada dalam program itu untuk memenuhi hak penonton.

Sebelum terjun ke system, saya juga termasuk salah satu orang yang sering menghujat televisi. Namun penghujatan saya justru menimbulkan keinginan besar untuk mengetahui yang terjadi di dalam system. Saya memutuskan untuk nyemplung, melihat bagaimana industri bergerak, belajar dan syukur-syukur berjuang sedikit untuk membuat perbandingan tayangan menjadi 1:8 (setidaknya) dalam seminggu untuk tayangan mendidik. Saya justru merasa menjadi pecundang ketika menghujat setiap menit tapi tidak berani menanggung resiko apapun untuk merubah sesuatu.

Setiap perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan, termasuk menghadapi penghujatan. System televisi kita, mau tidak mau masih mengacu pada rating/share sebagai ukuran (karena belum ada ukuran lain yang lebih valid). Dan ukuran itu diperlukan dalam sebuah pencapaian. Saya berharap manusia tidak mengkultuskan ukuran itu sehingga menjadi tuhan.