Monday, March 30, 2009

CONFESSIONS of a SHOPAHOLIC (antara novel dan film)

Senyuman lelaki yang menawan membuat hati wanita meleleh, tapi senyuman itu belum mampu mengalahkan keajaiban barang-barang bermerek di butik…”

Wanita mana yang tidak suka belanja? Wanita dan belanja sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Jikapun ada wanita yang tak suka belanja, pasti prosentasenya lebih kecil ketimbang yang suka belanja. Beberapa wanita meredakan stressnya dengan belanja dan begitulah yang di lakukan Rebecca Bloomwood. Belanja dan terus belanja hingga 15 kartu kreditnya di blokir lalu dikejar-kejar debt collector. Dalam kondisi itu, majalah kebun tempat Rebecca bekerja kolaps. Bagaimana Rebecca menghadapi hutang kartu kreditnya tanpa pekerjaan? Apalagi Rebbeca belum bisa mengendalikan dirinya saat melihat sale besar-besaran di butik bermerek.

Membaca novel-novel chiclitnya SHOPIE KINSELLA selalu menyisakan semangat feminine. Semangat yang membuat pembaca wanita ceria menghadapi hidup dan segala permasalahnya. Meski dalam filmnya saya merasakan semangat itu terasa samar dan lebih terfokus pada kisah romantis Rebecca- Brandon, namun beberapa hal justru membuat film ini lebih logis ketimbang novelnya. Ketika bahasa tulisan menjadi bahasa gambar, tentu membutuhkan beberapa benang cerita yang membuat penonton lebih gampang mencerna cerita dengan mata. Dan dalam filmnya, Confession of Sophaholic menggunakan Selendang Hijau sebagai benang merah cerita. Beberapa hal juga muncul dalam filmnya seperti karakter Brandon yang dalam novelnya sangat arogan tetapi dalam filmnya, Brandon justru muncul sebagai sosok cool yang punya karakter kuat. Brandon yang tidak mau bergantung pada merek terkenal (meski ia putra seorang pesohor di dunia mode) berhasil menyuntikkan sindiran yang telak pada orang-orang yang mengupgrade kepercayaan dirinya menggunakan merek-merek terkenal.

Jika sebuah novel menjadi film, maka akan ada pertanyaan; bagus mana antara novel dan filmnya? Ketika bahasa tulisan menjadi bahasa visual maka akan berbeda penyampaiannya pada penikmat. Pertanyaan yang lebih pas mungkin, apakah bahasa visual ini berhasil menggambarkan novel secara keseluruhan?

Nah, silakan menonton dulu baru berpendapat!