Sunday, March 30, 2008

A Day With Sygma


Aku sudah berangan ke Bandung minggu-minggu ini, untuk mengunjungi sahabat lama yang merindukanku (astaga, GR banget! :D) tetapi undangan dari penerbit Sygma membulatkan tekad. Ck! Ck! Ck! Kayak apa aja, ya? Maka berangkatlah sore itu aku ke Bandung.

"Setelah lihat papan nama "D Teuik Kafe", turun di pertigaan Cikutra, jalan ke atas," kata Mbak Lilis dalam sms-nya. Aku berdua Ryu begitu semangat menyusuri jalan ke atas itu. Ah, mungkin cuma beberapa ratus meter, okelah sambil olahraga pagi, pikirku. Tetapiii... kok nggak nemu-nemu kafe-nya? Ada sih ketemu papan nama D Teuik Kafe tapi petunjuknya masih 1 km. Padahal kami sudah berjalan sekitar 3 km. Wah, Baduy lewat neh! Batinku sambil bertanya-tanya, sebenarnya ini mau gathering apa hiking, sih? Hihihi

Tapi penderitaan itu terbayar setelah ketemu banyak temen-temen penulis dan kru Sygma. Dengan format santai, acara diskusi dan sharing ide lumayan menarik. Apalagi acara tukar kado dan games. Aku masih ketawa setiap ingat tukar kado yang nggak selesai-selesai. Geli banget. Dan ternyata para penulis emang nggak berbakat jadi kaya, nggak ada yang bisa main golf! Aduh, capek deh! Dan ternyata lagi, penulis itu pada narsis, lihat aja fotonya! :))

Terima kasih kepada Sygma atas perhatiannya pada penulis.
Terima kasih kepada teman-teman penulis yang asyik-asyik.
Semoga kita terus punya kekuatan untuk berkarya yang bermanfaat.






Thursday, March 20, 2008

Merindukan Baduy

Bukan hanya untuk riset novel ketika saya memutuskan ke sana. Tapi lebih karena rindu suasana Baduy yang pernah saya kunjungi 2 tahun yang lalu. Sepi, exotis dan menentramkan. Cocok untuk kontemplasi. Saat perjalanan hidup sudah mencapai titik letih, terkadang saya memutuskan berhenti sejenak untuk melihat jejak-jejak di masa lalu. Berapa kesalahan yang telah saya buat? Berapa waktu yang habis terbuang? Lalu menimbang-nimbang, apa yang seharusnya saya putuskan? Dan tempat seperti Baduy sangat mendukung untuk itu.

Tetapi, Baduy yang sekarang sudah berbeda dengan Baduy yang saya kunjungi 2 tahun lalu. Banyak hal yang sudah berubah. Seperti makanan dan cara berpakaian. Kalau dulu saya hanya menemui ikan asin dan nasi, sekarang sudah ada modifikasi beberapa makanan/masakan. Soal baju juga begitu, saya tak banyak menemukan baju hitam-hitam untuk laki-laki, tetapi mereka sudah mengenakan pakaian modern seperti kaos meskipun celananya masih hitam.

Semua perubahan itu memang menimbulkan beberapa pertanyaan dan ketidakpuasan dalam diri saya. Tetapi bagaimanapun perubahan akan selalu terjadi dalam sebuah masyarakat. Lalu apakah untuk alasan riset novel yang saya perlukan lantas saya jadi kecewa? Semua yang tumbuh dan hidup selalu bisa berubah dalam sekejab. Saya belajar ketulusan dari sorot mata sahabat saya di tanah Baduy dan saya selalu ingin kembali.
(untuk seseorang yang menemani perjalanan ini, 'terimakasih atas kesabarannya').