Monday, January 21, 2008

MENULISLAH TERUS

“Bagaimana menghadapi penolakan naskahku?”

Beberapa kali saya mendapat email yang mengungkapkan tentang penolakan naskah yang dikirim ke media dan tentu saja apatis yang menyertainya. Setiap membaca keluhan seperti ini, saya selalu flashback ke naskah-naskah saya sendiri. Berapa banyak perbandingan naskah lolos dan ditolak? Jika dikalkulasikan mungkin lebih banyak yang ditolak, tetapi saya tidak begitu memedulikan penolakan itu. Bukan berarti tidak kecewa, pastilah terlintas perasaan sedih, namun saya lebih suka melanjutkan berkarya ketimbang tenggelam dalam apatis lalu berhenti berkarya. Saya meyakini bahwa karya terbaik adalah karya yang akan saya tulis berikutnya. Begitu seterusnya setiap saya menulis dan menulis lagi.

Banyak kisah dari penulis terkenal dunia yang bisa menginspirasi kita dalam menghadapi penolakan-penolakan media. Penulis serial Harry Potter, J.K. Rowling, pernah menghadapi penolakan penerbit sebelum novel Harry Potter bisa terbit dan menjadi best seller dunia. Demikian juga John Grisham dengan novelnya A Time To Kill. Lalu kisah seru penulis horror Stephen King. Stephen selalu memasang karya-karyanya yang ditolak di dinding kamar hingga tembok itu penuh. Bahkan Tom Clancy juga sempat kurang mendapat angin dari penerbit hingga menjadi begitu terkenal. Atau kisah penulis Rex Pickett yang karyanya terus ditolak hingga usianya setengah abad. Koran Inggris Guardian bahkan sudah menulis bahwa Rex memang bukan seorang penulis berbakat. Rex depresi, tenggelam dalam alcohol dan hidupnya kacau balau. Dalam kondisi depresi itu, Rex menulis sebuah novel semacam semiotobiografi berjudul SIDEWAYS. Novel ini berhasil terbit, mendapat sambutan baik dan sebuah perusahaan film di AS memfilmkannya.

Penolakan dari media atau penerbit adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang yang suka tidak suka mesti dilalui seorang penulis. Modal besar untuk meraih sukses dalam menulis adalah semangat tinggi, ketidakbosanan dalam berkarya, dan jiwa pantang menyerah. Maka berusahalah terus, nikmati prosesnya dan jangan pernah putus asa.

Thursday, January 03, 2008

WAKTU, TEMPAT & SEMANGAT

Tempat yang indah dan waktu yang berlimpah akan membuat otak lancar memuntahkan ide cerita. Benarkah?

Saat masih bekerja nine to five, aku selalu mengangankan memiliki waktu yang panjang dan tempat yang nyaman untuk menulis. Waktu yang panjang bisa berarti seminggu penuh mencurahkan pikiran untuk menulis tanpa gangguang ngantor dan tempat yang nyaman bagiku adalah sebuah meja (dengan laptop dan kursi yang empuk tentu saja) menghadap pemandangan indah pegunungan atau pantai serta udara yang segar. Pasti tokoh-tokoh dalam ceritaku akan lancar memainkan perannya dan novelku segera selesai.

Karena angan-angan ‘indah’ itu aku menjadi sering tertekan dan bersalah jika tulisanku terbengkelai. Tentu saja tulisanku tak selesai-selesai, aku tak punya waktu! Berangkat pagi pulang malam! Lalu kapan aku akan menulis? Sambil uring-uringan aku mencoba mencari solusi agar bisa menyelesaikan tulisan-tulisanku yang terbengkelai.

Banyak jalan menuju Roma, begitu pikirku. Aku mulai membuat jadwal menulis di sela rutinitas kantor. Beberapa cara mungkin bisa ditiru tapi beberapa diantaranya jangan, karena termasuk korupsi waktu di kantor dan tentu saja tidak baik. Cara pertama, aku menulis malam hari setelah pulang dari kantor. Tetapi menulis malam membuatku sangat kelelahan pagi harinya dan hasil tulisan tidak optimal.
Cara pertama ini sama sekali tidak berhasil, bahkan malah membuatku sakit dan opname. Aku lalu menerapkan cara kedua. Yaitu menggunakan waktu weekend untuk menyelesaikan tulisan-tulisanku. Entah mood sedang baik atau tidak, aku selalu menulis saat week end. Meski aku harus mencoret jadwal jalan-jalan dan bersenang-senang dengan teman-teman, namun cara kedua ini lumayan manjur. Aku berhasil menyelesaikan beberapa paragraph dari cerpen-cerpenku. Untuk mendukung kecepatan menulisku saat weekend, aku selalu memikirkan jalan ceritaku di manapun. Saat berangkat ke kantor, saat istirahat siang di kantor ataupun saat menunggu di bank atau halte bus. Meski agak riskan karena melamun di jalanan membuatku sering terantuk batu, menubruk orang atau salah naik bus, tetapi cara pendukung ini cukup membuat ceritaku lebih lancar menuju ending. Sedangkan cara ketiga adalah aku menulis saat tidak ada pekerjaan di kantor. Tapi cara ini kurang menyenangkan, karena lagi seru-serunya menulis tiba-tiba si bos sudah ikut membaca cerpenku dari belakang punggungku. Cara ketiga ini tidak baik, namun membuatku kecanduan menulis karena mencuri-curi waktu (baca: jangan ditiru, karena merugikan perusahaan tempat kau bekerja).

Tahun 2004, aku memiliki waktu berlimpah untuk menulis. Tentu saja, karena aku tak lagi bekerja kantoran. Hari pertama tidak pergi ke kantor, aku seperti orang keluar dari penjara. Oho! Aku bebas! Sekarang seluruh waktuku untuk menulis! Aku akan melahirkan masterpiece! Girangku dalam hati. Tapi aku mengambil jeda beberapa hari untuk mulai menulis. Saat jeda itu aku tersenyum-senyum membayangkan indahnya hari-hariku menulis tanpa gangguan pekerjaan kantor. Mungkin seperti memasuki jalan tol tanpa macet.

Pagi di bulan Mei aku mulai menulis, dengan bayangan semua akan selancar lintasan busway. Tetapi sudah lima jam duduk di depan komputer aku hanya menulis satu baris. Apa yang terjadi gerangan? Lalu aku memutuskan untuk istirahat. Tetapi hari berikutnya sama saja. Aku tidak memiliki kata-kata untuk kutuangkan di layar monitor. Yang benar saja! Bukankah sekarang aku memiliki waktu yang berlimpah untuk menulis? Kenapa jadi malah susah menulis? Dan kebuntuan ini kemudian membuatku malas menulis. Aku melalui hari demi hari dengan membaca bukan menulis! Astaga!

Namun kemalasan itu kemudian terusir oleh kritikan-kritikan dari keluarga besar. Timbullah semangat dan tekadku untuk membuktikan diri bahwa aku bisa menulis, menjadi diriku sendiri dan bertanggungjawab dengan pilihanku. Aku membuat jadwal padat untuk menulis dan mengirimkan minimal 3 tulisan jadi setiap minggu ke majalah. Dan mulailah ritme menulisku yang full time itu berjalan menyenangkan. Aku merasa telah menciptakan dunia pilihanku dengan sungguh-sungguh.

Hambatan menulis yang terbesar bagiku justru ketika memiliki waktu yang berlimpah dan tempat yang nyaman. Aku cenderung susah menumpahkan ide dan cenderung bermalas-malasan. Pernah suatu ketika aku memutuskan pergi ke villa seorang teman di Puncak untuk menyelesaikan sebuah novel. Aku membayangkan akan duduk mengetik menghadap pemandangan indah dan menyesap secangkit teh panas. Tetapi pada kenyataannya, aku sama sekali tak menulis di sana. Aku lebih banyak tidur dan membaca. Alamak! Di saat yang lain, seorang agen mencari penulis untuk sebuah proyek buku. Aku ditawari menyelesaikan beberapa serial dengan fasilitas menulis di sebuah tempat yang indah dan nyaman. Namun mengingat kebiasaan burukku, aku jadi merasa geli dan memutuskan mundur dari proyek ini.

Setiap penulis pasti memiliki kebiasaan yang masing-masing unik untuk menyelesaikan karyanya. Termasuk penulis –contohnya aku- yang lebih gampang menyelesaikan tulisan ketika berada pada waktu yang sempit dan tempat yang jelek. Nah, menurutku semuanya kembali pada semangat dan tekad untuk menyelesaikan tulisan itu. Di manapun kita menulis kalau semangat dan tekad itu ada maka otak akan mudah memuntahkan cerita. Percayalah!