Monday, August 20, 2007

BUDAYA ASMAT YANG EXOTIS

Indonesia memiliki bermacam suku dengan beragam kebudayaan yang exotis, tetapi hanya segelintir orang zaman sekarang (baca: yang telah mabuk oleh modernisasi) mau peduli dan mau menikmati ke-exotisan itu. Arus budaya barat yang deras membuat kita merasa asing dengan kebudayaan sendiri. Padahal kalau kita mau menengok sejenak, kita akan melihat akar kepribadian bangsa Indonesia; ramah, tulus, penuh kasih sayang, bersahabat, toleran, tidak membeda-bedakan dan cinta persaudaraan.

Nyaris tak ada teman yang tertarik ketika saya ajak mengunjungi ASMAT BEORPITS FESTIVAL, 12-19 Agustus di Pantai Carnaval Ancol. Namun, seorang teman yang pernah penelitian tentang Masyarakat Baduy bersedia menemani saya untuk bertemu, berkenalan, ngobrol dan melihat ke-exotisan budaya Asmat.

Seperti dugaan saya, lokasi festival sepi pengunjung (atau mungkin karena bukan hari libur?). Saya berdua teman agak ragu-ragu memasuki lokasi, namun seorang kameramen dari Indosiar mengajak kami bareng menuju lokasi. Di pantai Carnaval, suku Asmat menampilkan kehidupan asli mereka dengan membangun rumah adat, memahat dan mengukir, menari dalam gerakan-gerakan ritmis, upacara-upacara adat dan pertunjukan manusia perahu. Kebanyakan pengunjung hari itu adalah wartawan media cetak dan elektronik, kameramen dan potografer.

“Topi ini terbuat dari kulit Kuskus, binatang sejenis Harimau. Hiasan ini terbuat dari kerang dan bulu-bulu putih ini dari hewan sejenis angsa, ada juga yang bulu burung cenderawasih” kata pemuda Asmat bernama Jackson yang ngobrol dengan saya di pinggir pantai. “Coba kamu pakai di atas kerudungmu, terus di foto sama bapak itu, pasti bagus sekali,” tambahnya tersenyum.

Saya ikut tersenyum ketika teman kameramen itu kemudian benar-benar mengarahkan kameranya ke saya dan Jackson. Lalu seorang lelaki Asmat lain yang lebih tua menghampiri kami. Dia menjelaskan tentang hiasan ditubuhnya yang telanjang, “hiasan di dada dan punggung ini sesuka kami menghiasnya. Yang warna putih menggunakan kapur,” katanya.

Di bagian depan beberapa lelaki Asmat tampak sedang memahat dan mengukir. Gerak tangannya begitu terlatih memahat dan mengukir tanpa pola. “Untuk bahan kayu panjang ini, selesai dalam tiga hari. Tetapi yang kecil lebih cepat.”
Saya menimang hasil pahatan berupa burung dan patung khas Asmat. Menarik sekali!

Tak terasa sudah 5 jam saya bersama saudara-saudara dari Asmat. Dari senyuman malu-malu, obrolan dan tatapan mata mereka, saya bisa merasakan persahabatan yang tulus. Mereka juga sangat ramah. Yakobus Kopakci, salah satu kepala dusun juga bersedia ngobrol dan berfoto bersama kami bahkan menjelaskan hal-hal yang ingin kami tahu.

“Tahun depan, kami akan datang lagi ke Jakarta dengan membawa perempuan, kemarin mendadak jadi perempuan tidak ikut. Dan rumah adat yang kami bangun akan lebih besar lagi nanti,” kata Jackson lagi.

Semua rombongan itu terdiri dari 200 orang dan mereka berencana kembali ke Asmat tanggal 22 Agustus. Menjelang malam saya meninggalkan lokasi festival dengan perasaan haru. Dari mereka saya belajar kesederhanaan, ketulusan dan persahabatan.
“Semoga tahun depan saya bisa berjumpa mereka lagi,” kataku dalam hati sambil sekali lagi menoleh ke arah rumah adat mereka sebelum benar-benar pulang.
(Text. Tary. Doc. Sutrisna Ramli)